Sabtu, 27 Agustus 2016

Kabupaten "Inovasi" Sukabumi, Unggul dalam Ketertinggalan

Semenjak 2009, Kabupaten Sukabumi dinobatkan sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Provinsi Jawa Barat. Padahal daerah yang beribukota di Pelabuhan Ratu ini kaya akan potensi daerah beragam sektor. Buktinya, roda perekonomian wilayah kabupaten Sukabumi digerakkan oleh sektor pariwisata, pertanian, perkebunan dan industri. Belum lagi Kabupaten Sukabumi telah dikukuhkan sebagai inisiator Kampung UKM Digital dalam memanfaatkan terobosan baru (inovasi) di bidang usaha kecil dan menengah.


Ragam potensi daerah dapat diamati diantaranya melalui potensi pariwisata berupa obyek wisata sungai berarus deras yang melintasi daratan subur yang dijadikan sarana untuk olah raga. 

Kab. Sukabumi mulai menjadi salah satu primadona pariwisata di Jawa Barat (dok: http://sukabumikab.go.id)
Selain itu, potensi pertanian dan tanaman hortikultura yang didukung oleh kandungan tanah yang sangat subur sehingga mampu menghasilkan komoditi unggulan seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, sayur-sayuran dan buah-buahan serta tanaman obat dan tanaman hias.

Lahan sawah Kab. Sukabumi (dok: http://dipertakabsmi.com)
Di samping mengandung potensi alam yang khas, Kabupaten Sukabumi juga dikaruniai posisi strategis dalam hal industri barang dan jasa, karena letaknya berkisar sekitar 130 km dari Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya ratusan industri yang bermarkas di Jakarta, membangun pabriknya di Kabupaten Sukabumi. Contoh sederhana saja terkait dengan potensi air bawah tanah sepanjang tahun yang terpancar dari perut gunung yang menjadi sumber bahan baku bagi perusahaan air minum dalam kemasan.

Adapun pembangunan daerah tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya dan keamanan bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Di samping itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.

Apalagi dalam era otonomi, implementasi pembangunannya merupakan kewenangan dari pemerintah Kabupaten sehingga menjadi suatu keharusan bahwa fokus sekaligus lokus pembangunan daerah tentunya membutuhkan sinergi antara semua stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, sektor swasta (lembaga donor) serta perguruan tinggi.

Tapi, terkadang terjadi gap antara harapan dan kenyataan. Fakta dan realitas di lapang sering tak sejalan. Sehingga dibutuhkan gerakan kemasyarakatan yang dikenal sebagai gerakan post modernism yaitu mereka yang urun tangan dan berkontribusi aktif memperbaiki keadaan. Intinya, mereka ini merupakan orang-orang yang selalu mencari perubahan, merespon perubahan tersebut dan memanfaatkannya secara maksimal sebagai sebuah peluang. Masyarakat memiliki andil dalam banyak hal sehingga pemaknaan dari, oleh dan untuk masyarakat dapat benar terasa dampaknya kaitan dengan pembangunan inovasi daerah.

Desa Cicantayan, merupakan bagian dari Kabupaten Sukabumi. Desa yang bergeliat memajukan inovasi daerahnya dikarenakan pimpinan daerah (Kepala Desa) yang begitu inovatif. Sebut saja Kang Fikri, beliau merupakan kandidat Master Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam riset tesis S2 nya beliau meneliti tentang Indeks Pengembangan Desa. Hal ini menjadi salah satu inovasi pemikiran mutakhir dari seorang pimpinan daerah.

Peta Desa Cicantayan, Kab. Sukabumi (dok: google)
Salah satu inovasi daerah Desa Cicantayan yaitu urban farming yang telah digalakkan semenjak 2014 melalui pencanangan program “satu rumah, lima polibag”. Adapun pilot project percontohan ialah di satu kedusunan. Polanya setiap rumah dititipi polibag yang telah ditanami tomat, cabe rawit dan seledri. Setiap rumah tangga diperkenankan memilih jenis tanaman yang diinginkan dan diwajibkan merawat hingga tanaman tersebut panen. Inovasi daerah Desa Cicantayan ini diharapkan dapat mengentaskan rawan pangan dan menjaga ketahanan pangan di daerah tersebut.

Inovasi daerah Desa Cicantayan Sukabumi selanjutnya berfokus pada pelestarian budaya yaitu Kampung Egrang yang merupakan kampung budaya berlokasi di Cibiru Desa Cicantayan. Adapun pendirian kampung budaya ini diharapkan dapat mendorong, melestarikan dan memelihara permainan tradisional turun temurun khususnya egrang dan mainan lainnya yang berbahan dasar bambu.

Ragam permainan tradisional yang dirindukan dan egrang merupakan salah satunya (dok: https://www.facebook.com/KorangBumi/)
Egrang merupakan permainan tradisional yang perlu dijaga kelestariannya guna memelihara eksistensi budaya (dok: https://www.facebook.com/KorangBumi/)
Kabar baik datang dari Kampung egrang bahwa tiap minggu komunitas egrang dari kampung egrang selalu diundang ke Sukabumi Car Free Day (SCFD) dan pernah pula diundang ke olimpiade permainan tradisional yang diselenggarakan oleh Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Wow! 

Egrang menjadi salah satu permainan yang sering dilombakan (dok:https://www.facebook.com/KorangBumi/)
Kampung egrang sendiri dibentuk karena mayoritas penduduk dalam kesehariannya bergelut dengan bambu. Desa cicantayan memang memiliki produk unggulan berupa kerajinan bambu, selain bubutan kayu, kripik enye/kicimpring dan buah manggis. Selain soal pemeliharaan eksistensi budaya, kampung ini juga menyediakan beragam produk kerajinan bambu berkualitas berupa rak buku, meja, kursi dan lainnya serta tidak ketinggalan tersedianya rumah baca. 

Rumah baca Bambu Biru bertujuan meningkatkan minat baca dan menjadi sumber pengetahuan warga sekitar (dok: https://www.facebook.com/bambubiroe)
Rak buku terbuat dari bambu berkualitas seharga Rp 500.000 asli produk Desa Cicantayan, Sukabumi (dok: http://bambubiru.id/category/umkm/kerajinan-bambu/)
Inovasi daerah tentu tidak terlepas dari peran kepemimpinan didalamnya. Perlunya menerapkan “reinventing the government” dan “enterprising the government” menjadi syarat wajib dalam pengembangan keinovasian daerah. Dimana seorang pemimpin wajib memiliki visi yang menarik, menantang serta dapat dipercaya, yang mampu disampaikan secara jelas untuk kemudian “dibagi” bersama dengan para pengikutnya sehingga menjadi kekuatan pendorong agar daerah bisa terus berkembang dan maju. 

Pun, dalam rangka reinventing the government perlu dipompakan semangat kewirausahaan dalam melaksanakan pembangunan. Akhir kata, Kabupaten Sukabumi dengan beragam keunggulan dibalik “ketertinggalannya” memberi kabar baik untuk Indonesia berupa inovasi daerah guna membangun kesejahteraan dan perekonomian daerah serta meningkatkan kualitas hidup warganya. Merdesa!

Cat: Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor dengan bidang keilmuan Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Penulis pernah bekerja di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta. Saat ini penulis terlibat kerjasama dengan Kementerian Perindustrian sebagai Tim Praktisi untuk Project One Map Policy Kawasan Industri. 

Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku

Minggu, 14 Agustus 2016

Komitmen dan Transparansi: Kunci Review Izin untuk Penataan Perizinan Sawit di Aceh

Tanaman sawit kali pertama diperkenalkan oleh kolonial Belanda dan untuk pertama kalinya ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Lantas selang 56 tahun kemudian, tanaman ini berkembang menjadi komoditas skala komersial sejak ditanam di Deli pada tahun 1904. Hingga saat ini, kelapa sawit menjadi sektor strategis yang memberikan sumbangan ekspor yang tinggi sehingga menjadi produk penting penyumbang devisa Negara. Pun, menjadi salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia. Seperti tampak pada gambar di bawah bahwasanya berdasarkan olahan Hasil Survei Perusahaan Perkebunan oleh BPS diperoleh gambaran jumlah perusahaan perkebunan besar tanaman tahunan didominasi oleh kelapa sawit dengan tren yang terus meningkat (periode 2000-2014)

dok: pribadi (diolah)

Kementerian Pertanian dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) merilis bahwa ada sekitar 10,4 juta hektar lahan sawit di Indonesia, dan produksi sawit Indonesia pada tahun 2015 ialah sebesar 32,5 juta ton dimana 81 persen produk ditujukan untuk ekspor. Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dengan pendapatan ekspor lebih dari US$15 miliar per tahun atau menyumbangkan 3 persen pendapatan ekonomi per kapita. Di bawah ini tertera daftar grup besar Industri Kelapa Sawit di Indonesia lengkap dengan grup induk kelapa sawit serta negara asalnya sebagaimana dilansir oleh laman mongabay.



dok: mongabay.co.id

Di satu sisi, komoditas sawit kerap dikaitkan dengan berbagai masalah lingkungan dan sosial dan hal inilah yang menjadi titik tolak permasalahan dan persoalan utama. Oleh karenanya, industri sawit memiliki tantangan dalam implementasi praktik-praktik bertanggung jawab dan berkelanjutan terhadap lingkungan agar tetap lestari. Hal ini tentu memerlukan komitmen bersama dari para stakeholder terkait terutama pelaku industri sawit dalam melakukan upaya strategis guna menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Janji Moratorium

Pada bulan April 2016 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan rencana pemerintah untuk memberlakukan moratorium perluasan izin perkebunan sawit. Presiden Jokowi menyatakan bahwa perkebunan sawit di Indonesia harus diarahkan kepada intensifikasi berupa peningkatan produktivitas, bukan lagi berorientasi pada perluasan (ekstensifikasi). Sebagaimana pernyataan Bapak Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini dinilai telah mencukupi sehingga perlu adanya persiapan aturan penundaan pembukaan lahan sawit baru. Adapun lahan yang telah ada dapat ditingkatkan kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi. 


Sebagaimana dilansir oleh laman DPR RI pada 19 April 2016, dijelaskan bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IV DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), anggota dewan DPR RI juga mempertanyakan salah satunya tentang moratorium sawit. RDP antara Komisi IV dengan pihak kementerian dalam hal ini Sekjen Kementerian LHK, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan serta Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK memiliki agenda pembahasan tentang Hak Guna Usaha (HGU) dan Alih Fungsi Lahan yang terkait proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta termasuk masalah moratorium sawit didalamnya, mengingat masih banyak lahan sawit yang dioperasikan tanpa izin berdasar temuan di lapangan. Moratorium dirasa penting karena bila diiringi dengan peningkatan tata kelola, nantinya diharapkan akan dapat memberi dampak sehingga memberikan keuntungan kepada Negara dan rakyat, bukan hanya sekelompok kecil orang saja.

Adapun dalam Rapat Kerja (Raker) antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian LHK pada Juni 2016 lalu dengan agenda rapat Membahas APBN-P Tahun 2016, dihasilkan simpulan rapat yang salah satunya: Komisi IV DPR RI meminta Kementerian LHK agar pada APBN-P Tahun 2016 memprioritaskan untuk program kerakyatan dan program perlindungan serta pemulihan hutan. Hal ini tentu menyiratkan maksud bahwa hutan kian menjadi fokus perhatian semua pihak tanpa terkecuali dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.


dok: dpr.go.id

dok: dpr.go.id

Sawit yang (Maaf) Semrawut

Sejalan dengan ekspansi perkebunan sawit, berdasarkan studi yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) pada tahun 2014, menghasilkan simpulan bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan pada periode 2000-2012 yang sebagian besar diperuntukkan untuk konversi perkebunan sawit. Pada tahun 2014, berdasarkan status pengusahaannya, produksi minyak sawit dari perkebunan swasta sebanyak 16,50 juta ton minyak sawit (56,25 persen), perkebunan rakyat 10,68 juta ton (36,41 persen), dan perkebunan besar negara 2,16 juta ton (7,34 persen). Inilah salah satu alasan kenapa moratorium mendesak perlu dilakukan. Diagram di bawah menunjukkan perkembangan sawit di Indonesia selang 2004 hingga 2014. Data dari Ditjenbun ini menunjukkan bahwa perkebunan swasta mendominasi dan terus mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan perkebunan rakyat yang berada di urutan kedua disusul oleh perkebunan negara.

dok: mongabay.co.id

Bila menyorot Provinsi Aceh maka berdasarkan data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga Maret 2015, luas perkebunan di Provinsi Aceh mencapai 1.195.528 hektar. Dengan rincian, perkebunan besar memiliki luasan HGU mencapai 385.435 hektar, sementara perkebunan rakyat 810.093 hektar.

Luas HGU di Aceh Utara mencapai 35.200 hektar dengan 12 perusahaan. Sementara perkebunan rakyat sekitar 70.663 hektar. Sementara data yang dikeluarkan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, luas kerusakan hutan atau deforestasi di Kabupaten Aceh Utara pada 2014-2015 mencapai 1.771 hektar. Deforestasi tersebut diantaranya disebabkan oleh beralihnya hutan menjadi perkebunan. 

Sedangkan data perkembangan sawit di Kab. Aceh Tamiang menunjukkan sekitar 80 persen dari wilayah telah dikuasai oleh pemilih HGU sawit dan dapat dipastikan kedepannya pemerintah akan kesulitan dalam membangun dan menyediakan fasilitas pelayanan publik dikarenakan kurangnya ketersediaan lahan.

Belum lagi kaitan antara kasus perambahan hutan menjadi perkebunan sawit yang seringkali menyebabkan timbulnya kasus konflik agraria dan berdampak tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan dari usaha perkebunan. Semisal, di kawasan Kab. Aceh Singkil yang notabene merupakan kabupaten miskin di Provinsi Aceh. Didalamnya terdapat beberapa perusahaan perkebunan sawit yang mengelola puluhan ribu hektar lahan untuk ditanami sawit. Sekitar 36,65 persen dari luas keseluruhan Kab. Aceh Singkil telah menjadi lahan sawit namun apa yang terjadi? Kabupaten ini masih tetap termasuk dalam daerah tertinggal dan salah satu yang termiskin di Indonesia. Disinyalir keberadaan perkebunan sawit di Aceh Singkil tidak berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi. Hal ini membuktikan terjadinya paradoks bahwa luasan perkebunan kelapa sawit berbanding terbalik dengan perekonomian masyarakat dan daerah.

Adapun kerusakan dan alih fungsi lahan dari kehutanan menjadi area non kehutanan yaitu perkebunan di wilayah Aceh khususnya Kawasan Ekosistem Leuser terus menjadi sorotan kelompok masyarakat. Apa pasal? Hal ini dikarenakan perizinan yang terus dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. 

dok: mongabay.co.id

Dampak Positif Review Izin Usaha 

Berdasar pemantauan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), secara keseluruhan pemerintah telah menerbitkan izin usaha perkebunan di 23 kabupaten/kota di seluruh Aceh tanpa adanya review terhadap izin yang ada! Padahal review sangat penting untuk memastikan prosedur ketaatan dan kepatuhan perusahaan di lapangan telah berjalan secara baik dan benar, termasuk didalamnya ketaatan dalam menggarap lahan sesuai dengan ketentuan luas areal dan izin yang diberikan. 

Review izin usaha dalam hal ini perkebunan perusahaan sawit merupakan bagian dari penataan perizinan di Aceh. Review izin atau peninjauan kembali izin merupakan salah satu sarana untuk melihat ketaatan izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Review izin pada prinsipnya adalah pemeriksaan penerbitan izin berdasarkan hukum yang berlaku (pemeriksaan legalitas izin). 

Adapun dampak positif dari dilakukannya review izin oleh pemerintah terhadap izin usaha perkebunan kelapa sawit di Aceh yaitu menghasilkan review izin yang nantinya akan menunjukkan perusahaan mana yang taat dan tidak terhadap aturan-aturan yang berlaku, menjalankan atau tidak menjalankan kewajiban-kewajibannya. Hal ini semata demi kemaslahatan umat karena masyarakat juga berhak atas fasilitas pelayanan publik yang memadai.

Beberapa persoalan ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah agar pada masa pemerintahannya tetap menjaga kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini nantinya juga akan menjadi bukti komitmen pemerintah daerah setempat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Sehingga transparansi menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi!

Upaya Pemerintah dan Solusi Alternatif

Terkait dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh untuk melakukan review izin usaha perkebunan perusahaan sawit di Aceh dapat terlihat misalnya di Aceh Utara dimana selama ini daerah Aceh Utara cukup populer dikenal sebagai salah satu kabupaten penghasil devisa terbesar. Pada Juni 2016, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh telah mengirimkan surat edaran kepada para pemegang HGU/Izin Usaha Perkebunan dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Hal ini merupakan langkah review izin perkebunan kelapa sawit dan persiapan kebijakan moratorium. Aceh Utara tidak akan kehilangan pamornya karena daerah ini merupakan kawasan industri terbesar di Provinsi Aceh dan terbesar di luar Pulau Jawa. Kekayaan gas alamnya telah menarik banyak investor baik luar maupun dalam negeri. Walau demikian, sebagian besar masyarakat masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian dimana wilayah ini dikenal juga sebagai penghasil padi. Komoditas potensial di samping padi ialah kedelai.

Kab. Aceh Tamiang yang merupakan hasil pemekaran dari Kab. Aceh Timur membudidayakan tanaman perkebunan diantaranya kelapa sawit dimana komoditas ini diproses menjadi CPO oleh beberapa perusahaan BUMN/BUMD. Tapi sesungguhnya terdapat opsi selain perkebunan kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan karena daerah ini merupakan kawasan yang kaya minyak dan gas meski jumlahnya tidak sebesar Aceh Utara. Langkah antisipatif solutif dapat dioptimalkan dengan berfokus pada pengembangan diantaranya sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian dan kontribusi terbesar diperoleh dari tanaman pangan semisal padi, palawija, serta hortikultura seperti sayur dan buah.

Sedangkan Kab. Aceh Singkil yang memiliki komoditas unggulan di bidang perkebunan yaitu kelapa sawit, meskipun memiliki empat pabrik untuk mengolah kelapa sawit menjadi CPO, pengolahan lebih lanjut masih harus diangkut ke Kab. Aceh Timur dan Sumatera Utara. Hal ini disinyalir menjadi salah satu alasan kenapa terjadi paradoks belum begitu berdampaknya komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Patut diketahui bahwa komoditas unggulan lainnya ialah di sektor perikanan dan kelautan tapi sayangnya pemanfaatan dari hasil kelautan ini kurang dimanfaatkan dengan maksimal. Akibatnya, aktivitas ekonomi di bidang perikanan dan kelautan belum begitu berperan penting dibandingkan sektor pertanian.

Selain itu masih ada upaya pemerintah yang perlu dilakukan kaitannya dengan penegakan Review Izin Usaha yaitu berupa pelibatan partisipasi kelompok kaum perempuan guna mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Percaya atau tidak, berdasar kajian analisis perempuan akan lebih efektif meningkatkan kondisi hutan jika membentuk “masa kritis” partisipasi 25 hingga 30 persen. Perempuan perlu dihadirkan dalam tata kelola institusi karena hubungan perempuan dengan hutan begitu kompleks.

Terlepas dari isu gender yang menaunginya, kini saatnya untuk menciptakan kesadaran dan kesetaraan antar lelaki dan perempuan dalam tata kelola hutan melalui peningkatan partisipasi perempuan. Oleh karenanya dampak yang dirasakan oleh kaum perempuan terhadap izin usaha perkebunan sawit dan juga partisipasi kelompok perempuan dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh perlu digalakkan. Pemerintah terutama perlu mendorong lebih banyak terciptanya keberadaan perempuan dalam asosiasi hutan guna memberi dampak terhadap review izin usaha perkebunan sawit kaitanya dengan penataan perizinan.

Referensi:
Cat: Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor Bidang Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Penulis pernah menjadi Tenaga Ahli Anggota Dewan DPR RI Komisi IV yang membidangi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Pertanian dan Pangan, serta Perikanan dan Kelautan. Saat ini penulis terlibat kerjasama dengan Kementerian Perindustrian RI dan tergabung dalam Tim Praktisi untuk Project One Map Policy Kawasan Industri.

Nb: Tulisan diikutsertakan dalam Lomba Blog: “Review Izin untuk Penataan Perizinan” oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

Jumat, 05 Agustus 2016

Solusi Seiring Inovasi Teknologi Infrastruktur Berbasis Potensi Daerah dan Kewilayahan yang Mendukung Pembangunan Berkualitas

Ragam solusi dan inovasi terkait bidang infrastruktur banyak bertebaran di sekeliling kita, baik itu tentang jalan, jembatan, rumah, pelabuhan, gedung, fasilitas air, bencana alam dan lainnya yang sekiranya bermanfaat di masa depan. Dan khusus untuk artikel kali ini, bahasan soal bangunan dan fasilitas air akan menjadi ulasan tersendiri (re: spesial) karena pembahasannya tidak hanya ditunjang oleh data lapang sebagai bentuk reportase, pun disajikan berdasar kajian ilmiah (literature review) yang dibumbui isu spasial kewilayahan. Check it out!

Awal mulanya berangkat dari latar belakang permasalahan dimana kebanyakan kota memiliki mekanisme perencanaan tata guna lahan yang kurang baik, sehingga perlu adanya infrastruktur yang tepat guna menghadapi tantangan yang ada semisal konstruksi yang membutuhkan investasi besar. Karena pada dasarnya, sebuah kota yang makmur akan memfasilitasi akses yang adil kepada “the commons” termasuk diantaranya infrastruktur publik.

Pada Supartoyo dan Kasmiati (2013a), telah diulas kaitannya dengan solusi seiring inovasi tentang infrastruktur di masa depan yaitu mengenai konsep “Skyfarming”. Kami rasa ini merupakan konsep alternatif green building guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan khususnya pembangunan masa depan kota di Indonesia.

Seperti yang kita pahami bersama bahwasanya pembangunan atas dasar perhitungan ekonomi semata terkadang abai terhadap kondisi lingkungan sehingga banyak kota yang keberlanjutannya terancam. Sehingga konsep pembangunan vertikal mau tidak mau harus mengusung konsep “green building” yang menggabungkan konsep gedung vertikal dan ruang terbuka untuk bercocok tanam sehingga selain dapat mengatasi krisis pangan, pun mampu mensiasati minimnya lahan di daerah perkotaan guna menciptakan kota hijau yang mandiri pangan. Konsep ini diyakini sebagai desain futuristis dan optimis di masa depan. Konsep ini juga dipercaya sebagai desain yang ramah lingkungan dan tidak hanya isapan jempol belaka. Toh, banyak Negara Maju semisal Jepang dan Singapura telah menerapkannya. Tentu Indonesia bukan tidak mungkin akan mampu menerapkannya juga pada pelbagai bangunan tanah air. 

Di sisi lain, Indonesia tentu tidak kalah hebatnya karena telah memiliki perwujudan konsep yang luar biasa terkait dengan solusi seiring inovasi infrastruktur masa depan. Sebut saja, di bilangan Epicentrum Walk Rasuna Said Kuningan – Jakarta Selatan, kita akan dapat menemukan Galeri Botol dimana bangunan ramah lingkungan tersebut dibentuk dari sekumpulan botol bekas daur ulang. Epic! 

dok: pribadi

Masih soal bangunan, tempo hari Mei 2015 saya mengikuti kegiatan berupa Kolokium “Mengupas Penerapan Teknologi Hasil Litbang Bidang Permukiman” yang diadakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerjasama dengan media online Kompasiana, berlokasi di wilayah Bandung – Jawa Barat khususnya di Cimanggung, Kabupaten Sumedang. Dalam kesempatan yang baik tersebut kami berkesempatan melakukan kunjungan untuk mengamati ragam inovasi teknologi guna mewujudkan permukiman layak huni dan berkelanjutan dengan rumusan 100 – 0 – 100 (100 persen akses air minum - 0 persen kawasan kumuh - 100 persen akses sanitasi untuk masyarakat). Tahun 2016 kali ini, Balitbang Kementerian PUPR kembali menghelat Kolokium bertema “Inovasi Teknologi Mendukung Pembangunan Infrastruktur yang Berkualitas” di Jakarta pada Maret silam.

Graha Wiksa Praniti, Bandung - Jabar (dok: pribadi)

dok: pribadi

Kami pun berkesempatan mengunjungi Multipurpose Building, yang menjadi percontohan bangunan tahan gempa. Rumah tersebut dikenal dengan sebutan Rumah Instan Sederhana Sehat alias RISHA (bukan Raisa, ya). Rumah ini merupakan rumah prefabrikasi dengan sistem knock down mahakarya Balitbang PUPR. 


Adapun hal ini mencerminkan program yang diusung pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR guna mewujudkan solusi seiring inovasi infrastruktur terbaru masa depan berbasis potensi daerah. Tema khusus program/proyek ini ialah “Incubation of Construction Business for Underprivileged Families”. 

dok: pribadi

dok: pribadi

Tidak hanya itu, kami juga meninjau unit IPAL Biofilter Komunal berbasis Daur Ulang di lokasi Hibrid Taman Sanita di Cimanggung, Kab. Sumedang. Betapa takjubnya saya karena bangunan yang berbasis sanitasi masyarakat ini berada di tengah permukiman padat penduduk dan sangat terjaga kebersihannya. 

dok: pribadi

dok: pribadi

Kami juga melakukan pengamatan Model Instalasi Pengolahan Air dimana air yang dimanfaatkan berupa air sungai. Adapun pengelolaan air dimaksud mengalami proses penyulingan yang cukup panjang hingga siap minum. Air yang berasal dari sungai harus melalui bak penampung terlebih dahulu sebelum masuk ke tangki filtrasi, kemudian menuju bak penampung lagi hingga tiba di unit membran, lalu siap untuk diminum.

dok: pribadi

dok: pribadi

dok: pribadi

dok: pribadi

dok: pribadi

Selanjutnya, kaitan antara solusi seiring inovasi infrastruktur dengan isu spasial kewilayahan sebagaimana yang diulas dalam Supartoyo dan Kasmiati (2013b) dimana kami menyajikan konsep Pendekatan Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang diperuntukkan dan disesuaikan dengan potensi daerah yaitu khususnya Kota Hijau Pesisir Tropis Berkelanjutan. Tujuannya ialah menumbuhkembangkan solusi seiring inovasi infrastruktur terbaru masa depan guna terciptanya Resilient Coastal City.

Sumber: Trujillo dan Mouthon (2013) dalam Supartoyo dan Kasmiati (2013b)

Dilatarbelalakangi oleh beragam ancaman lingkungan yang ada di depan mata, khususnya bagi wilayah pesisir. Untuk menghadapi ancaman pengelolaan wilayah pesisir di masa yang akan datang demi mencapai Resilient Coastal City, diperlukan beberapa konsep yang penting untuk diterapkan diantaranya yaitu:
  • Konsep metrofitting yaitu dengan menggunakan lahan kosong yang diperuntukkan untuk beberapa hal. Misal, pengelolaan sampah dan pengoptimalan infrastruktur
  • Infrastruktur hijau dan zonification hijau di kota yang melibatkan perencanaan untuk melestarikan daerah yang rentan isu strategis di masa depan
  • Jejak ekologis yang menghitung biaya dan sumber daya lain untuk jasa lingkungan di kota pesisir; dan
  • Pembiayaan hijau, termasuk konsep biaya dan manfaat kota dari aspek lingkungan 
Penerapan konsep ICZM ini merupakan bentuk perencanaan strategis yang holistik dalam penetapan peraturan kawasan agar memudahkan para stakeholder terkait dalam mengambil keputusan. Peran penting ICZM ialah dalam upaya membangun kerangka regulasi dan kebijakan yang dikombinasikan dengan program serta proyek dalam rangka perwujudan inisiatif secara efisien.


Perencanaan di kota pesisir tentunya harus memperhitungkan prinsip ICZM yang seiring sejalan dengan visi kota hijau yang nantinya akan mampu menciptakan kota pesisir berkelanjutan. Harapannya masyarakat akan mampu menikmati standar hidup yang tinggi, kemakmuran ekonomi, kesehatan fisik serta lingkungan yang terawat.

Evaluasi ICZM di Indonesia dapat digunakan sebagai hasil awal untuk mengambil langkah lanjut terhadap kelemahan pelaksanaan ICZM dalam rangka memperoleh ICZM tertentu yang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan di Indonesia. Adapun pendekatan yang dapat digunakan dalam proses ICZM diantaranya ialah pendekatan partisipatif. Pendekatan ini menjadi model pembangunan masa kini yang memberikan ruang kepada masyarakat ataupun komunitas guna terlibat dan mengambil peran dalam proses pembangunan.

Konsep ICZM pun dapat dipadukan dengan pertumbuhan hijau yang menjadi konsep penting dalam membangun kota pesisir yang tangguh dengan harapan agar terwujud kehidupan masyarakat yang berkualitas, sehat, sejahtera dan memiliki lingkungan hidup yang lestari. Jadi, semacam green growth in urban coastal zones.

Seiring sejalan dengan kegiatan Balitbang PUPR yang mengusung tema “Dengan Inovasi Sains dan Teknologi Kita Percepat Pembangunan Infrastruktur menuju Masyarakat Sejahtera” guna meningkatkan kompetensi SDM dan terus berupaya menciptakan inovasi sains dan teknologi khususnya di bidang infrastruktur dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, tentu pemahaman konsep maupun reportase lapang yang ditampilkan ini diharapkan dapat sedikit memberi secercah harapan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.


Besar harapan semoga kedepan semakin banyak yang termotivasi dan lebih banyak pula bermunculan inovasi sains dan teknologi terbaru dari Balitbang PUPR yang tentunya lebih berkualitas, lebih murah (dan tentunya tidak murahan) serta lebih aplikatif agar dapat meningkatkan daya saing produk industri barang dan jasa di Indonesia guna menghadapi persaingan pasar bebas (globalisasi).

Referensi:
Cat: Penulis merupakan Mahasiswa Doktoral Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Penulis pernah terlibat kerjasama dengan beberapa instansi pemerintah diantaranya terlibat kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam Project Monitoring and Evaluation DAK dan TPOP. Penulis juga pernah menjadi narasumber ahli di BPAD Provinsi DKI Jakarta dan menjadi Tenaga Ahli Anggota Dewan di DPR RI. Saat ini penulis sedang terlibat kerjasama dengan Kementerian Perindustrian RI dalam Project One Map Policy. 

Nb: Tulisan diikutsertakan dalam Kompetisi Blogging Balitbang PUPR