Jumat, 24 Maret 2017

Pustaka Unsyiah, Jantung Hati Pemompa Semangat Insan Literasi

Selang setahun setelah saya menuliskan artikel tentang Perpustakaan Universitas Syiah Kuala (Pustaka Unsyiah) di Banda Aceh dalam blog pribadi yang berjudul “Knowledge is Free: Pengembangan Budaya Literasi dan Akses Baca di Perpustakaan Unsyiah” pada Maret 2016 silam (baca: disini). Hingga akhirnya saya membaca ulasan terbaru di Majalah Librisyiana Edisi 5 Januari 2017 terbitan Pustaka Unsyiah pada rubrik Fokus yang berjudul “Pengetahuan di Perpustakaan Unsyiah Gratis, Benarkah?”. Adapun Majalah Librisyiana disinyalir merupakan satu-satunya in house media Pustaka Unsyiah.


Kini, Perpustakaan Unsyiah terus melangkah maju dan saya benar-benar takjub dibuatnya. Perpustakaan Unsyiah di bawah kepemimpinan Dr Taufiq Abdul Gani M.Eng, Sc telah memiliki koleksi sebanyak 75.114 judul atau 136.925 eksemplar. Hal ini seakan membuktikan bahwa Pustaka Unsyiah berperan serta dalam peningkatan literasi dan diseminasi informasi kepada khalayak publik.

Perlahan namun pasti Perpustakaan Unsyiah berupaya mewujudkan Visi dan Misi yang dimilikinya yaitu untuk “Menjadi Pusat Informasi Ilmiah Terkemuka dan Berdaya Saing di Asia Tenggara pada tahun 2018”. Guna mencapai visi yang rencananya akan terwujud di tahun depan ini maka beberapa misi telah dilakukan oleh Pustaka Unsyiah diantaranya yaitu: 

Menyediakan kebutuhan koleksi yang relevan dengan kebutuhan pemustaka; Salah satunya melalui Uilis Mobile yaitu berupa aplikasi mobile Pustaka Unsyiah yang dapat diunduh oleh para pengguna IOS. Bahkan pada tahun 2017 ini rencananya pengembang aplikasi dan pihak Perpustakaan Unsyiah akan menerapkan sasaran Personal Focus bagi para pengguna aplikasi mobile Uilis. Sehingga nantinya Uilis akan dapat melakukan tracking buku favorit yang sering dipinjam oleh penggunanya dan dimasukkan ke dalam bookmark. Jadi, pengguna akan bisa memantau buku yang akan dipinjamnya apakah sedang dipinjam oleh orang lain lengkap dengan kapan tanggal pengembaliannya. Langkah ini menjadi wujud nyata dari pihak Pustaka Unsyiah guna menyediakan kebutuhan koleksi yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan pemustaka.

Mengembangkan pusat repository lokal konten (deposit) yang open access; Hal ini terlihat dari misalnya kemudahan saya mengakses salah satu publikasi artikel tulisan saya yang dimuat dalam Jurnal Ilmiah Terakreditasi DIKTI pada tahun 2013. Perpustakaan Unsyiah menyediakan pusat repository lokal konten yang dilengkapi dengan kemudahan akses bagi siapa saja dan dimana saja berada. Buktinya saya meskipun berada di Pulau Jawa tetap bisa mengakses koleksi yang dimiliki oleh Pustaka Unsyiah.

Menyelenggarakan pelayanan prima yang memenuhi standar pelayanan minimum; Misi pelayanan prima berdasarkan standar pelayanan minimum ini menjadi pencapaian tersendiri bagi Perpustakaan Unsyiah. Pasalnya, rekor baru Pustaka Unsyiah tercapai melalui peningkatan pengunjung yang melonjak drastis. Hal ini menjadi kebangaan tersendiri karena dapat menjadi tolak ukur minat kunjung dan pelayanan yang semakin baik.

Mengembangkan sistem otomasi perpustakaan yang standar; Semisal melalui penerapan sistem pembayaran denda yang dari sebelumnya berupa pembayaran tunai menjadi sistem pembayaran dengan menggunakan uang elektronik seperti e-money dengan menggunakan mesin. 

Mengembangkan kompetensi kepustakawan menuju sertifikasi profesi; Para pustakawan Perpustakaan Unsyiah telah mengikuti workshop ISO 10002 tentang Customer Satisfaction dan ISO 9004 tentang Keberlanjutan Manajemen Mutu. Hal ini tentunya menjadi satu langkah penting guna peningkatan kompetensi pustakawan menuju sertifikasi profesi. Pihak pustakawan Perpustakaan Unsyiah telah mampu memberikan terobosan yang inovatif sehingga memberikan kesan bahwa Perpustakaan Unsyiah menjadi tempat yang tepat dan sangat nyaman untuk menimba ilmu dan pengetahuan.

dok: Majalah Librisyiana Edisi 5 Januari 2017
Mengembangkan Total Quality Management dalam pengelolaan perpustakaan yang terakreditasi; Manajemen yang dilakukan semata-mata bertujuan untuk memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi para pemustaka. Satu hal yang menarik ialah melalui “Manajemen Muhasabah” yang dikelola secara baik oleh para pustakawan Perpustakaan Unsyiah sehingga diharapkan kedepannya Pustaka Unsyiah akan lebih dapat menjadi sarana pembelajaran dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga menjadi idaman semua orang.

Berkenaan dengan hal tersebut maka beberapa bukti pencapaian guna menjadi pusat informasi ilmiah terkemuka dan berdaya saing di Asia Tenggara pun mulai tampak terlihat dengan jelas. Semisal ketika beberapa siswa yang berasal dari Malaysia menyatakan kekagumannya saat mereka melakukan kunjungan study tour dan melihat Perpustakaan Unsyiah secara langsung. Para siswa tersebut tertarik dengan aktivitas dan sistem pelayanan Perpustakaan Unsyiah terutama dengan adanya sistem peminjaman mandiri yang memudahkan para mahasiswa meminjam buku.

dok: news.okezone.com/read/2015/03/17/65/1119973/siswa-malaysia-kagum-lihat-perpustakaan-unsyiah
Selain itu, Perpustakaan Unsyiah juga telah memiliki sertifikat ISO 9001:2008 sehingga hal ini semakin mempertegas bahwa mutu pelayanan Perpustakaan Unsyiah memenuhi standar bertaraf internasional dan seakan mampu menyejajarkan Pustaka Unsyiah dengan perpustakaan lain di dunia. Wow! 

dok: news.okezone.com/read/2015/07/13/65/1180805/raih-sertifikat-iso-perpustakaan-unsyiah-kini-bertaraf-internasional
Hmm, masih butuh bukti bahwa Pustaka Unsyiah benar-benar telah mendunia?

Laman Alexa.com melansir bahwa kepopuleran laman unsyiah.ac.id terus merangkak naik dan menempati ranking global ke – 48.737, sedangkan ranking di Indonesia berada pada urutan ke – 797 secara nasional. 

dok: www.alexa.com/siteinfo/unsyiah.ac.id
Selain itu secara geografi masyarakat, pengunjung laman unsyiah.ac.id ternyata tidak hanya berasal dari Indonesia melainkan juga United States, United Kingdom, Netherlands dan Singapore. Kendati demikian, masyarakat Indonesia mendominasi kunjungan sebesar 84,7 persen sedangkan United States sebesar 3,3 persen, United Kingdom sebesar 2,6 persen, Netherlands sebesar 2,5 persen dan Singapore sebesar 1,5 persen. Terbukti, kan?

dok: www.alexa.com/siteinfo/unsyiah.ac.id
Sedangkan secara demografi masyarakat, berdasarkan gender pengunjung laman unsyiah.ac.id didominasi oleh kaum laki-laki. Berdasarkan status pendidikan maka mereka yang duduk di bangku kuliah merupakan pengunjung yang setia. Adapun berdasarkan lokasi browsing maka kebanyakan para pengunjung mengakses laman unsyiah.ac.id di rumah dibandingkan di tempat kerja.

dok: www.alexa.com/siteinfo/unsyiah.ac.id
Pada akhirnya saya pribadi yakin dan percaya bahwa Perpustakaan Unsyiah akan dapat menjadi pusat informasi ilmiah yang terkemuka dan berdaya saing tidak hanya di Asia Tenggara melainkan mancanegara. Terlihat dari upaya yang dilakukan diantaranya penyediaan koleksi buku yang relevan, pengembangan pusat repository yang open access, penyelenggaraan pelayanan prima, pengembangan sistem, pengembangan kompetensi berdasar manajemen sumber daya manusia dan pengembangan manajemen kualitas secara total. 


Sejatinya, Perpustakaan Unsyiah lebih dari sekedar perpustakaan. Perpustakaan ini merupakan jantung hati Unsyiah yang menjadi tumpuan dan harapan semua insan. Pustaka Unsyiah memompa semangat literasi sehingga perlu dijaga dan dirawat agar terus berdenyut. Pustaka Unsyiah pun ibarat organ vital yang gemar ber-muhasabah agar senantiasa terjaga dan kelak dapat memberikan dan mempersembahkan yang terbaik bagi semua insan literasi yang membutuhkan. Pustaka Unsyiah, Bukan Perpustakaan Biasa! 

Referensi: 
Cat: Penulis ialah Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor di Institut Pertanian Bogor, pernah menjadi Narasumber Ahli di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta (2014 – 2015), bertugas sebagai Peneliti di Bidang Ekonomi untuk Project Jakarta e-Learning Center.

Ket: tulisan diikutsertakan dalam Blogger Competition Unsyiah Library Fiesta 2017 “More Than Just a Library”

dok: library.unsyiah.ac.id/ulf-2017-lomba-blogger/

Minggu, 19 Maret 2017

Bangga di Banggai, Bagai Memaknai Jejak Para Raja

Banggai itu dimana, sih?

dok: https://joshuaproject.net/people_groups/10649/ID
Kabupaten Banggai merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang beribukota di Luwuk. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Tomini di sebelah utara, Selat Peling di sebelah selatan, Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali di sebelah barat dan Kabupaten Banggai Kepulauan di sebelah timur.

Sejarah 

Berdasarkan sejarah, Kabupaten Banggai berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Banggai. Wikipedia melansir bahwa sejarah kerajaan Banggai berkaitan pula dengan sejarah pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang di wilayah kerajaan Banggai serta pergolakan rakyat di Kabupaten Banggai guna menuntut dan berjuang demi terbentuknya daerah otonom.


Budaya dan Kearifan lokal 

Adapun budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Kabupaten Banggai tercermin dari adat istiadat leluhur suku Loinang (Saluan), Lo’on (Balantak dan Andio) serta Lobo (Banggai, Peling dan Labobo). Pun, nama-nama yang kerap dipakai dalam pemerintahan zaman dulu yaitu bagi kepala daerah semisal di tingkat kabupaten yang dinamakan Tomundo setingkat Bupati.


Sumber Daya Alam

Kabupaten Banggai memiliki motto “Monsuani Tani” yang artinya gemar menanam. Hal ini dikarenakan kabupaten ini merupakan penghasil beras terbesar kedua setelah Kabupaten Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah. Selain tanaman bahan makanan, terdapat pula hasil perkebunan rakyat seperti kelapa dalam, jambu mete, kopi robusta, cengkeh, kakao, kelapa hibrida dan lada.

Kabupaten Banggai juga dikenal sebagai penghasil kopra dan kelapa sawit dimana sebagian besar produksi kopra dan kelapa sawit diserap oleh industri minyak kelapa mentah yang dikelola oleh beberapa perusahaan diantaranya PT Bukit Permata Hijau dan PT Kurnia Luwuk Sejati.

Hasil hutan pun tidak kalah berperannya bagi pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banggai. Pemasukannya terutama berasal dari kayu log dan selebihnya rotan, damar, kulit japari dan kemiri. Hasil pertanian dan perkebunan berdampak besar terhadap perdagangan. 


Jasa dan Infrastruktur

Selain pertanian, adapula sektor perdagangan yang menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk. Oleh karenanya keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai akan dapat lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi sehingga memperlancar baik arus barang maupun jasa. Semisal Bandara Bubung yang terletak di Luwuk serta Pelabuhan Bunta dan Pelabuhan Luwuk yang berperan sebagai pelabuhan utama serta terdapat pula berbagai sarana dan prasarana pendukung lainnya seperti sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas dan jaringan telekomunikasi.

Adapun berdasarkan kajian “Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah” yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2008) diperoleh informasi bahwa neraca daya saing daerah Kabupaten Banggai salah satunya ditentukan oleh Infrastruktur, Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Sedangkan hal yang masih perlu dibenahi antara lain terkait dengan lingkungan usaha produktif diantaranya yaitu belanja pelayanan publik, jumlah peraturan daerah yang bermasalah dan jumlah sektor basis daerah.


Pariwisata 

Sedangkan di sektor pariwisata, terdapat Suaka Marga Satwa Bangkiring dimana burung Maleo merupakan primadonanya. Burung Maleo merupakan salah satu hewan yang dilindungi. Selain itu terdapat pula beberapa tempat lainnya yang dapat menjadi andalan pariwisata diantaranya yaitu:

Air terjun Hanga-Hanga


Pulau Tikus; yang terkenal dengan pasir putihnya


Gua Liang

 
...dan masih banyak lagi!

Adapun alasan saya ikut serta dalam lomba menulis blog “Bangga di Banggai” ini ialah karena saya ingin turut serta menyebarluaskan informasi keindahan yang patut diketahui khalayak tentang tanah Sulawesi khususnya Banggai. Semata-mata agar masyarakat juga ikut merasakan kebanggaan atas kekayaan yang dimiliki tanah air Indonesia. Di satu sisi saya sendiri pun ingin merasakan kebanggaan dan atmosfer kemeriahan literasi serta keindahan sastra secara langsung dalam Festival Sastra di Banggai

Pameran Kain Nusantara di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara (dok: pribadi)
Saya merupakan perempuan keturunan Jawa yang lahir dan dibesarkan di tanah Sulawesi tepatnya Sulawesi Utara, bumi nyiur melambai. Setidaknya dengan berupaya menulis dan berkontribusi dalam lomba “Bangga di Banggai” ini saya menaruh harapan besar agar dapat berkesempatan menjejakkan langkah di belahan tanah Sulawesi lainnya yaitu Sulawesi Tengah. Hal tersebut tentu akan menjadi suatu kebanggaan dan kehormatan tersendiri bagi saya pribadi. 

dok: https://twitter.com/babasalmombasa/media
Sumber: 
Cat: tulisan diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog “Bangga Di Banggai” oleh Babasal Mombasa dalam rangka Festival Sastra Banggai (FSB)

dok: www.festivalsastrabanggai.com

Minggu, 05 Maret 2017

Visit Tidore Island – [Swapraja yang Praktis Merdeka]

Indonesia dijajah 350 tahun lamanya. Percaya?

Zanden dan Marks (2012) dalam salah satu bab tulisan dalam bukunya mengulas tentang “Pembentukan Negara Kolonial, 1800 – 1830” yang menyebutkan bahwa Indonesia yang dikenal sekarang pada dasarnya merupakan produk dari masa lalu kolonialnya. Batas-batas wilayah negeri ini merupakan produk dari sebuah proses panjang kolonisasi yang dimulai pada tahun 1596, saat pertama kalinya kapal Belanda datang berlabuh di Banten, tepatnya di pantai selatan Jawa.

Jujur, saya agak tergelitik membacanya. Secara tidak langsung tulisan ini menampakkan kejelasan betapa “ngebet”-nya para penjajah menguasai Indonesia karena butuh waktu sekitar dua abad tepatnya 204 – 234 tahun semenjak awal kedatangan untuk membentuk Negara Kolonial secara sah dan legal yang sayangnya hanya mampu bertahan seabad lamanya. Hmm, proses yang lumayan panjang. Tapi, di satu sisi cukup memberikan kesan bukti positif bahwa Indonesia tidak semudah itu untuk dikuasai. Bahkan bisa jadi pernyataan ini mematahkan kenyataan yang mengatakan bahwa Indonesia dijajah 350 tahun lamanya karena faktanya Negara Kolonial hanya terbentuk sekitar seabad lamanya hingga menjelang kemerdekaan Indonesia di tahun 1946.

Senada dengan yang ditulis Resink (2012) dalam bukunya yang berjudul “Bukan 350 Tahun Dijajah”, maka kebenaran sejarah mulai terungkap perlahan. Resink secara gamblang mengungkapkan bahwa “Siapa bilang Indonesia dijajah 350 tahun? Bohong! Mitos belaka.” Katanya, kebohongan 350 tahun dijajah dipopulerkan oleh para politisi Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial. Tapi, herannya lagi hal tersebut lalu semakin kuat dipercaya sebagai kebenaran sejarah. Celakanya lagi, pemerintah malah memasukkan mitos 350 tahun dijajah tersebut ke dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah sampai akhirnya diterima dan tertanam sebagai kebenaran absolut di masyarakat. Hiks, disitu kadang saya merasa sedih...

Pada halaman 82 bukunya, Resink mengungkapkan bahwa gambaran mengenai penjajahan di seluruh Indonesia selama berabad-abad lamanya adalah sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat. Penggeneralisasian tersebut diolah berdasarkan gambaran mengenai penjajahan seluruh Jawa selama abad ke – 19 yang dipertebal dan diperluas menjadi penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad atau bahkan lebih lama lagi. Disinyalir bahwa hal tersebut merupakan “kelonggaran berpikir” yang diperluas. Melalui cara berpikir seperti ini maka ketika menyebutkan bagian kecil senantiasa dibesar-besarkan menjadi seluruh Nusantara. Lucu! 

Kebenaran yang ingin diungkap oleh Resink dalam bukunya tersebut pada dasarnya guna menyelamatkan tafsiran abad ke – 18 tentang hubungan bawahan yang telah dilupakan khususnya mengenai Ternate dan Tidore (halaman 120). Mengingat Tidore yang merupakan bagian dari Kepulauan Maluku sendiri telah berdiri semenjak tahun 1108 dengan usianya kini yang menginjak 909 tahun tepat pada April 2017 mendatang. Pada masanya, daerah ini memiliki kewenangan penuh mengatur daerahnya. Bahkan diungkapkan oleh Resink bahwa daerah ini khususnya Tidore berupaya mempertahankan corak-corak kebangsaan swapraja menurut hukum kawulanegaraan di Kesultanan Maluku Utara terutama yang terkait dengan peraturan perkawinan campuran internasional (hukum-hukum Kesultanan Maluku Utara).

dok: https://cerminsejarah.wordpress.com/2010/05/12/spice-islands-1/lukisan-ternate-dan-tidore-tahun-1700/
Berkenaan dengan hal tersebut, Resink menyatakan bahwa di kesultanan-kesultanan Maluku Utara, status subjek memiliki karakter kebangsaan sebenarnya yang lebih lama daripada di tempat lain. Sama halnya dengan Ternate yang juga terus memiliki hak-hak lainnya seperti mengibarkan benderanya sendiri hingga akhir abad ke – 19. Tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan Maluku Utara tersebut pasti memberikan pengaruh dalam pemikiran hukum kolonial karena tepat pada tahun 1861 dikeluarkanlah sebuah peraturan perkawinan yang diperuntukkan untuk Pemerintah Kepulauan Maluku.

Pada akhirnya, berdasarkan kebenaran sejarah Resink dengan beraninya menyatakan bahwa pada abad ke – 18 Ternate dan Tidore merupakan salah satu yang memang pernah menikmati yang disebut “suatu ketatanegaraan yang mendekati swapraja sempurna”. Disebutkan pula Kepulauan Maluku pada dasarnya merupakan Negara yang dijalin oleh perjanjian persekutuan atau pengakuan terhadap kekuasaan tertinggi tetapi tidak ada pejabat yang ditempatkan untuk menjamin pelaksanaan dan pemenuhan ketetapan perjanjian sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pada hakikatnya Kepulauan Maluku merupakan Negara yang praktis masih merdeka juga. Pernyataan sejarah ini diungkapkan berdasarkan karya N.J Struick pada tahun 1883 dalam karangannya tentang “Hari Depan Raja-Raja Pribumi di Negeri Jajahan yang Jauh”.

dok: sejarah-indonesia-lengkap.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-kerajaan-ternate-tidore.html
Penekanannya terletak “pada hakikatnya... praktis merdeka”. Setidaknya pandangan ini semacam menyuratkan pengharapan masa depan tentang politik perluasan kekuasaan Belanda di seluruh Nusantara. Bahwa negara-negara yang “praktis merdeka” diantaranya Kepulauan Maluku telah melindungi kedaulatan mereka yang pada hakikatnya utuh. Hal ini tentunya harus menjadi jelas bagi barangsiapa yang memahami kedaulatan dari sudut hubungan kekuasaan begitu juga dari sudut hukum.

dok: https://twitter.com/VTidore/media
Belajar dari sejarah, maka selang 900 tahun kemudian Kota Tidore Kepulauan berdasarkan hasil analisis dari Bank Indonesia (2008) kini telah memiliki keunggulan Neraca Daya Saing Daerah yaitu terutama yang terletak pada perekonomian daerah khususnya “government size” dan lingkungan usaha produktif yaitu jumlah peraturan daerah. Di satu sisi, berdasarkan hasil analisis neraca daya saing daerah tersebut, Kota Tidore Kepulauan masih harus meningkatkan peran sumber daya manusia dan ketenagakerjaan; infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan; serta perbankan dan lembaga keuangan yang dimilikinya. Sebagaimana asal muasal gabungan rangkaian kata bahasa Tidore yaitu To adao Rahe yang membentuk nama Tidore maka sepertinya: “saya mungkin (telah) sampai”. Yuk, Visit Tidore Island!


Sumber:
  • Bank Indonesia. 2008. Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers 
  • Resink GJ. 2012. Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta: Komunitas Bambu
  • Zanden JL, Marks D. 2012. Ekonomi Indonesia 1800 – 2010: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: KOMPAS 
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tidore_Kepulauan
  • https://cerminsejarah.wordpress.com/2010/05/12/spice-islands-1/lukisan-ternate-dan-tidore-tahun-1700/
  • sejarah-indonesia-lengkap.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-kerajaan-ternate-tidore.html
  • https://twitter.com/VTidore/media
Cat: tulisan diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Tidore Untuk Indonesia

dok: https://twitter.com/VTidore/media