Sabtu, 21 Oktober 2017

Hari Gini Masih Subsidi? Move On, Please!

Hari gini masih subsidi? Iya, masih!

“Ibu saya nggak bisa masak pake kompor gas (elpiji), bisanya pake kompor minyak tanah sumbu”.

Cetus salah seorang teman yang enggan disebut namanya. "Ketakutan" menjadi alasan terbesar kenapa tabung elpiji masih enggan digunakan oleh sebagian besar masyarakat kita, apalagi mengingat kasus ledakan tabung gas yang marak terjadi belakangan ini. Sehingga tidak dapat dipungkiri masyarakat terus bergantung pada minyak tanah yang notabene masih terus disubsidi oleh pemerintah.


Berdasarkan data, volume Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada tahun 2016 hanya tinggal 16,2 juta kiloliter (kl). Jumlah ini terdiri dari solar sebanyak 15,5 juta kl dan minyak tanah 700 ribu kl. Mulai Januari 2015, pemerintah telah menghapus subsidi BBM untuk jenis premium (Ron 88) sehingga volume BBM bersubsidi turun signifikan dan hanya tinggal 18 juta kl dari tahun sebelumnya mencapai 46 juta kl. Penghapusan subsidi BBM untuk jenis premium membuat anggaran belanja subsidi energi di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo turun signifikan hampir 60 persen menjadi Rp 137,82 triliun pada 2015 dari Rp 341,8 triliun pada 2014.

dok: databoks.katadata.co.id
Adapun produksi minyak tanah di Indonesia pada periode 2004 – 2012 terus menurun mulai dari 56,8 juta barel menjadi 15,3 juta barel sebagaimana terlihat melalui gambar berikut ini:

dok: databoks.katadata.co.id
Sedangkan rata-rata harga eceran minyak tanah di Indonesia pada periode 2011 – 2013 ialah berkisar antara Rp 5950 hingga Rp 6200 sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini:

dok: databoks.katadata.co.id
Kendati demikian, konsumsi minyak tanah dan solar per Juni 2016, jumlahnya masih lebih kecil dibanding kuota yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2016 sebesar 16,7 juta kiloliter (kl). Catatan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), realisasi penyaluran per Juni 2016 kisarannya baru 41 persen atau sebesar 6,8 juta kl. Pencapaian tersebut hampir sebanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 40,6 persen. Realisasi kuota subsidi minyak tanah dan solar, menurut catatan BPH Migas, jumlahnya hampir selalu di bawah kuota yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Data 2012-2015 ini memperlihatkan, kelebihan kuota hanya terjadi pada 2014 sebesar 1,72 persen. Selain itu, pada 2012 realisasi hanya 99,6 persen, 2013 sebesar 96 persen dan pada 2015 penyaluran hanya mencapai 83 persen. Penurunan angka realisasi terjadi karena meningkatnya efektivitas pengawasan dalam pendistribusian BBM serta dipengaruhi oleh disparitas harga yang kecil antara BBM Subsidi dan non subsidi. Catatan BPH Migas dalam penyajian data 2015 dan semester I 2016 ini adalah, grafik ditampilkan lebih rendah dibanding sebelumnya karena dirilis tanpa memperhitungkan premium yang dikelompokkan sebagai bahan bakar tersendiri. Namun demikian secara kuota dan konsumsi, jumlahnya pada 2016 lebih rendah dibanding 2015.

dok: databoks.katadata.co.id
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah dilakukan realokasi BBM bersubsidi senilai Rp 211,3 triliun untuk anggaran yang lebih produktif. Dana tersebut di prioritaskan untuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp 113,9 triliun dan belanja daerah atau daerah tertinggal Rp 34,7 juta. Sisanya, Rp 62,7 triliun untuk kesinambungan fiskal, subsidi non BBM, membayar bunga utang, subsidi listrik dan lain-lain. Pada awal pemerintahannya, Presiden Jokowi telah melakukan kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan harga BBM untuk memangkas subsidi energi karena dianggap salah sasaran dan membebani anggaran negara. Guna mempertahankan momentum pertumbuhan yang sudah dicapai Jokowi terus melakukan peningkatan pembangunan dengan fokus 3 pilar yaitu; mengubah ekonomi berbasis konsumsi ke produksi, tepat sasaran untuk mengentaskan kemiskinan serta mendorong pembangunan pemerataan pembangunan di luar Jawa.


dok: databoks.katadata.co.id
Adapun perbandingan rencana dan realisasi kuota subsidi BBM tahun 2006 – 2011 terus meningkat secara bersamaan pada tahun 2011 setelah konvergen di tahun 2006 sebagaimana tampak pada gambar berikut ini:

dok: databoks.katadata.co.id

Di satu sisi skema kuota BBM bersubsidi tahun 2009 – 2013 juga diperlihatkan melalui gambar di bawah ini:

dok: databoks.katadata.co.id
Alokasi BBM subsidi di Indonesia sendiri pada tahun 2011 – 2014 ialah:

dok: databoks.katadata.co.id
Berkenaan dengan hal tersebut, rencana pembangunan tangki BBM Pertamina periode tahun 2016 – 2020 sangat fluktuatif. Mulai dari 552 ribu di tahun 2016 lalu menjadi 517 ribu di tahun 2017. Sedangkan di tahun depan yaitu 2018 sebesar 405 ribu dan tahun 2019 meningkat menjadi sebesar 600 ribu hingga di tahun 2020 turun menjadi sebesar 320 ribu. 

dok: databoks.katadata.co.id
Pada akhirnya perihal pemberian subsidi layak dikaitkan dengan harga BBM. Mengingat Indonesia berada di peringkat sembilan negara dengan harga bahan bakar minyak (BBM) termurah di dunia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Bloomberg, harga BBM Indonesia sekitar US$ 0,59 atau Rp 7.723 per liter. Dari 61 negara, biaya BBM termurah ditempati oleh Venezuela dengan harga US$ 0,01 atau Rp 130 per liter. Meski masuk dalam peringkat sepuluh besar harga bahan bakar termurah, Bloomberg menilai bahwa harga ini belum cukup terjangkau bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan rata-rata pendapatan sebesar US$ 10,16 atau Rp 133 ribu per hari, penduduk Indonesia harus rela mengeluarkan 5,83 persen pendapatan per harinya untuk membeli bahan bakar. Selain itu pengemudi di Indonesia harus rela menghabiskan rata-rata 118,71 liter BBM dalam setahun. Angka tersebut setara dengan 1,9 persen dari rata-rata total gaji yang didapat. Oleh karenanya kedepan, masyarakat perlu beralih ke pemakaian BBM non subsidi demi terciptanya pemerataan ekonomi kerakyatan dan keberlanjutan energi nasional. Penentuan harga berdasar harga keekonomian pun diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak baik produsen maupun konsumen. So, hari gini masih subsidi? Move on, please!

dok: databoks.katadata.co.id
Referensi: 

Jumat, 20 Oktober 2017

Perempuan dan Kekerasan: Mengintai yang Berpendidikan

"Yes, kita semua disini single. Jadi, tenang aja!”


Ucap salah seorang rekan tim kerja ketika kami tengah berkumpul di basecamp pasca menyelesaikan pekerjaan lapang terkait dengan labor market assessment. Well, di usia saya yang menjelang kepala 3 dan belum menikah, pertanyaan kenapa dan kapan seringkali menghantui dimanapun dan kapanpun berada. Apalagi pandangan sinis kebanyakan orang ketika melihat perempuan yang memilih untuk giat bekerja dan seakan melupakan kodratnya untuk berkeluarga. 

Saya menyadari pernyataan tersebut dilontarkan guna membuat saya nyaman mengingat dalam tim kerja tersebut saya tergolong paling muda belia dari segi usia bila dibandingkan kebanyakan mereka yang tampak terpaut usia lumayan berbeda. Saya mengamini pernyataan bahwa kami merupakan sekumpulan perempuan “single” yang gemar bekerja dan berupaya mandiri untuk menghidupi diri sendiri. Tapi, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah kenapa disebut “single”? Padahal dengan mata kepala sendiri saya melihat beberapa rekan kerja saya turut serta membawa anak mereka.

Awalnya saya merasa sungkan mempertanyakannya, tapi kemudian mereka (re: para perempuan tangguh dengan kisahnya masing-masing tersebut) dengan sukarela dan sikap terbuka berbagi cerita dan pengalaman tentang lika liku kehidupan yang mereka jalani yang jujur saja sangat membuka wawasan saya tentang apa arti kehidupan, pengorbanan dan perjuangan yang sesungguhnya. Saya merasa berhutang budi terhadap para perempuan hebat ini. Oleh karenanya sangat disayangkan jikalau saya menyimpan kisah inspiratif yang saya peroleh dan miliki tersebut seorang diri.

Pada akhirnya saya memperoleh lebih dari sekedar pengalaman kerja maupun pendapatan untuk penghidupan, melainkan pelajaran kehidupan yang luar biasa bermakna. Sebut saja Mba Rami, di usianya yang matang dan mapan memilih untuk mengabdikan diri dalam aksi sosial atas nama kemanusiaan. Dia bukannya menunda untuk menikah, hanya saja keinginannya untuk berbagi lebih besar daripada kepentingan pribadinya tersebut. Selain itu, ada Mba Nihus di usianya yang matang memilih untuk mengembangkan potensi dan keahlian fotografi yang dimiliki. Pengalaman pernah tersakiti seakan terobati sembari menggeluti hobi yang diminati. Selanjutnya yang tidak kalah hebatnya ialah Mba Biru, seorang perempuan tangguh yang memegang teguh prinsip hidupnya. Perjuangannya mempertahankan biduk rumah tangga di tengah badai perselingkuhan, pengkhianatan atas kepercayaan, kekerasan dalam rumah tangga maupun perjuangan memperoleh hak asuh anak disuarakannya dengan lantang. Saya benar-benar takjub dan terkesima dibuatnya. Saya merasa beruntung berkesempatan berada diantara para perempuan tangguh ini.

Mendengar langsung kisah pilu pengalaman hidup Mba Biru khususnya semakin membuat saya yakin bahwa sebenarnya diluar sana pasti masih banyak Mba Biru-Mba Biru lainnya dengan sekelumit kisah yang tak kalah mengharu birunya. Pasti juga banyak Mba Rami lainnya yang menjadi korban cemoohan secara verbal (kekerasan non fisik) karena memilih jalan hidupnya sendiri. Bahkan, perempuan yang bernasib sama dengan Mba Nihus yang belum juga mampu memberikan keturunan dalam sebuah hubungan menjadi peluang ancaman atas bentuk kekerasan. Saya yakin pasti banyak. Ya, hanya mungkin bedanya mereka belum berani menyuarakan jeritan hati dan memilih diam sebagai pilihan. Padahal sesungguhnya Diam bukan Pilihan! Diam adalah suatu bentuk kekeliruan, kelalaian dan pembenaran atas sebuah kesalahan. Hal ini tidak boleh dibiarkan!

Berdasarkan data tahun 2016, sebagaimana dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata diperoleh informasi bahwa perempuan di perkotaan lebih sering mengalami kekerasan dibanding perempuan di perdesaan. Data BPS tersebut mencatat bahwa prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan usia 15-64 tahun oleh pasangan dan selain pasangan di perkotaan dalam 12 terakhir mencapai 10,4 persen. Sementara di perdesaan hanya 8,1 persen. Demikian pula untuk selama hidup, prevalensi kekerasan terhadap perempuan di perkotaan juga lebih tinggi, yakni mencapai 36,3 persen, sementara di perdesaan hanya 29,8 persen. Prevalensi kekerasan fisik terhadap perempuan oleh pasangan dan selain pasangan mencapai 9,1 persen, kekerasan seksual sebesar 15,3 persen, dan kekerasan fisik dan seksual sebesar 9 persen. Kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan oleh pasangan dan selain pasangan dialami oleh 33,4 persen (1 dari 3) perempuan sepanjang hidupnya, dan sekitar 9,4 persen (1 dari 10) perempuan mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Miris, bukan? 

dok: databoks.katadata.co.id
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan masih kerap terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 2016, sebanyak 233 lembaga layanan mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi menangani 13.602 kasus. Provinsi di Pulau Jawa menempati urutan tiga besar dengan jumlah kasus terbanyak. DKI Jakarta berada di posisi teratas. Disusul Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dari 13.602 kasus kekerasan, 75 persen di antaranya terjadi di ranah personal, yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sisanya dilakukan di ranah komunitas dan ranah negara. Sebagai bagian dari perempuan perkotaan yang hidup dan mengadu nasib di DKI Jakarta, sudah selayaknya saya belajar untuk berempati atas kasus kekerasan yang marak terjadi terhadap kaum saya yaitu perempuan.

dok: databoks.katadata.co.id
Hal ini lantas semakin diperkuat oleh kajian LBH Apik Jakarta yang sepanjang tahun 2015 juga menangani 573 kasus kekerasan perempuan di DKI Jakarta. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih mendominasi. Jenis kasus lain yang juga ditangani oleh LBH Apik di antaranya kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan seksual di luar KDRT dan KDP, pidana umum, perdata keluarga, pelanggaran hak dasar, ketenagakerjaan serta kategori lain-lain. 

dok: databoks.katadata.co.id
Selain Komnas Perempuan dan LBH Apik Jakarta, Polda Metro Jaya juga melansir jumlah kejahatan kekerasan fisik yang terjadi pada tahun 2015 yang mencapai 3.000 kasus. Jumlah ini menurun dibanding angka kejahatan yang tercatat tahun sebelumnya sebesar 3.595 kasus. Kendati demikian, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk salah satu kejahatan yang jumlahnya termasuk mendominasi. Dalam tiga tahun berturut-turut, Polda Metro Jaya mencatat lebih dari 1.000 kasus per tahun. Kasus yang ditangani oleh Polda Metro Jaya ini mencakup wilayah seluruh Kota Jakarta, Kota Depok, Kota Bekasi dan Tangerang. 

dok: databoks.katadata.co.id
Selain persoalan kekerasan terhadap perempuan di perkotaan masih ada hal yang lebih mengejutkan, yaitu perempuan berpendidikan ternyata lebih rentan mengalami kekerasan! Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami oleh perempuan usia 15-64 tahun dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas dengan status tidak bekerja. Sebanyak 39,4 persen perempuan dalam kategori ini pernah mengalami kekerasan semasa hidupnya. Hasil pendataan SPHPN 2016 juga menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Selama 12 bulan terakhir sekitar 1 dari 10 perempuan tersebut mengalami kekerasan. Dalam penelitian ini BPS bekerja sama dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, BPS, United Nations Fund for Population Activities (UNPFA).

dok: databoks.katadata.co.id
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa kekerasan tidak hanya terjadi dalam suatu hubungan pernikahan. Komnas Perempuan mencatat sebanyak 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) atau dating violence terjadi selama tahun 2016. KDP merupakan tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan yang mencakup kekerasan fisik, psikologi, dan ekonomi. Kebanyakan yang menjadi korban dalam KDP adalah pihak perempuan disebabkan beberapa faktor mulai dari rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan merasa tidak memiliki dukungan secara sosial maupun individual. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi pada perempuan adalah di ranah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tahun 2016 terjadi sebanyak 11.207 kasus atau 60 persen dari keseluruhan kasus. KDRT merupakan tindakan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk pada keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan. Bentuk kekerasan ini juga paling sering terjadi pada perempuan. Come on, girl!

dok: databoks.katadata.co.id
Pada akhirnya, perempuan dengan segala bentuk penghidupannya merupakan kisah menarik yang layak dan pantas memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan. Kini bukan saatnya perempuan memilih untuk diam, melainkan menyuarakan kebenaran. Tidak perlu takut karena ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertugas menjamin dan memberikan perlindungan serta advokasi terhadap masalah kekerasan yang dialami oleh para perempuan yang berani melapor dan bersaksi atas apa yang menimpanya selama ini. 


Kini saatnya para perempuan bersatu padu guna menghentikan segala bentuk kekerasan. Tidak ada pembenaran atas sikap kekerasan dikarenakan kita menyuarakan perlawanan terhadap suatu kesalahan. Sebagaimana Mba Biru, seorang aktivis perempuan, pegiat sosial dan terpelajar yang berhak memperjuangkan rumah tangga yang telah dibina susah payah. Beliau memperjuangkan harga diri dan anak-anaknya. Saya teringat bagaimana beliau menceritakan upaya perjuangannya menyelamatkan rumah tangganya yang pada akhirnya kandas, tentang bagaimana dia menjadi saksi sekaligus korban kekerasan yang dilakukan mantan suaminya bahkan perjuangan panjangnya memperoleh hak asuh anak. Bermodalkan keberanian yang merupakan kekuatan terbesarnya ketika itu. Syukurlah saat ini Mba Biru dan anak-anaknya memulai semua kembali secara perlahan namun pasti. Mba Biru merasa beruntung karena saat itu memilih untuk tidak diam melainkan menyuarakan semuanya.

Mba Rami pun mengajarkan tentang makna penting pencegahan terhadap kekerasan verbal yang kerap mengintai para perempuan single perkotaan nan berpendidikan. Dari Mba Nihus pun saya belajar bahwa perempuan wajib memiliki talenta dan dengan kemampuan yang dimiliki tersebut kita berhak menentang segala macam bentuk kekerasan. Jadilah perempuan yang berani! Ayo berani bersuara! Karena Diam bukan Pilihan! Dan kekerasan bukanlah jawaban! Alih-alih menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan, mending sayangi kami tanpa alasan. Setuju?

Referensi: 

Senin, 02 Oktober 2017

JAKARTA LEARNING CENTER: UPAYA STRATEGI OPTIMALISASI PEMBELAJARAN E-LEARNING GUNA PENINGKATAN BUDAYA MUTU PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR YANG INKLUSIF DI ERA DIGITAL

Pendahuluan

Berdasarkan data tahun 2016, jumlah sekolah di Indonesia mencapai 297.368 unit. Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan dengan jumlah sekolah terbanyak, yakni mencapai 147.000 unit. Namun, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya mencapai 37.000 unit sehingga satu sekolah tingkat pertama terkadang memiliki lebih dari 5 ruang untuk tiap tingkatan kelas. Sedangkan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) cukup merata dengan jumlah masing-masing mencapai 12.000 unit.

dok: databoks.katadata.co.id
Semisal di Provinsi DKI Jakarta, jumlah sekolah paling banyak di DKI Jakarta adalah di tingkat Sekolah Dasar (SD), yakni mencapai 2.950 sekolah pada tahun ajaran 2014/2015. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta harus menambah dan memperbaiki sarana serta prasarana sekolah agar rasio jumlah siswa per kelas semakin ideal.

dok: databoks.katadata.co.id
Sedangkan apabila dilihat dari jumlah kelas, maka jumlah kelas Sekolah Dasar (SD) di Provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling banyak dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya. Menurut data Dinas Pendidikan DKI Jakarta, jumlah kelas Sekolah Dasar (SD) mencapai 25.742 kelas dari total 52.609 kelas, atau hampir separuh kelas adalah untuk peserta didik Sekolah Dasar (SD). Jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta pada tahun ajaran 2014/2015 berjumlah 1,56 juta murid dan yang paling banyak adalah di tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah murid sebanyak 821.360 orang.

dok: databoks.katadata.co.id
Sayangnya, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah Sekolah Dasar (SD) ini belum semuanya memenuhi standar minimal bagi operasional pendidikan. Untuk itu pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah akan melakukan revitalisasi sekolah-sekolah yang sudah ada, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta. Termasuk untuk daerah perbatasan, akan mendapatkan perlakuan khusus dan penanganan khusus.

Permasalahan terkait standar minimal bagi operasional pendidikan ini dibuktikan dengan data bahwa lebih dari 76 persen kelas tingkat Sekolah Dasar (SD) rusak pada tahun ajaran 2015/2016. Sekitar 65,2 persen mengalami kerusakan ringan hingga sedang serta 10,94 persen mengalami kerusakan berat hingga total. Jadi hanya 23,85 persen kelas yang dalam keadaan baik. 

dok: databoks.katadata.co.id
Di satu sisi, tidak hanya keadaan kelas di tingkat Sekolah Dasar (SD) yang patut mendapat perhatian melainkan juga terkait dengan daya saing digital di Indonesia yang tergolong masih rendah. Daya saing digital Indonesia masuk dalam kategori rendah karena masih minim investasi untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi digital. Hal ini terlihat dalam laporan IMD World Digital Competitiveness 2017, Indonesia berada di peringkat 59 dengan skor 44,225 (Skor tertinggi 100) dari 63 ekonomi dunia yang disurvei. Indonesia hanya unggul dari Ukraina, Mongolia, Peru dan Venezuela.

dok: databoks.katadata.co.id
Menurut Arturo Bris selaku Direktur IMD World Competitiveness Centre, rendahnya skor daya saing digital negara-negara tersebut karena memiliki peringkat yang rendah dalam hal talenta serta tidak berinvestasi untuk melakukan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mereka miliki. Untuk pertama kalinya IMD World Competitiveness pada 2017 mengeluarkan laporan tentang daya saing digital. Pemeringkat ini merupakan indikator kemampuan suatu negara dalam mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital yang bertujuan pada transformasi.

Pembahasan

Laporan Potret Pendidikan Indonesia tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah murid tingkat Sekolah Dasar (SD) mencapai 25,89 juta anak tahun ajaran 2015/2016. Adapun jumlah guru mencapai 1,8 juta dengan ruang untuk belajar sebanyak 1 juta kelas. Sehingga rasio murid terhadap kelas mencapai 14:1, sedangkan rasio murid terhadap kelas 25:1. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017, pemerintah mempertahankan anggaran pendidikan sebesar 20 persen atau sekitar Rp 400 triliun. 

Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD) mencapai 108 persen sehingga menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan jenjang pendikan lainnya. Jumlah siswa Sekolah Dasar (SD) pada Tahun Ajaran 2015/2016 mencapai 29,57 juta sedangkan jumlah populasi anak usia 7-12 tahun sebenarnya hanya 27,38 juta. Angka partisipasi hingga melebihi 100 persen ini disebakan oleh banyaknya anak usia di bawah usia 7 tahun yang sudah masuk Sekolah Dasar (SD) serta anak-anak usia di atas 12 tahun yang masih belajar di tingkat Sekolah Dasar (SD).

dok: databoks.katadata.co.id
Provinsi DKI Jakarta misalnya, ternyata lebih dari separuh siswa di Provinsi DKI Jakarta adalah murid Sekolah Dasar (SD). Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah siswa Sekolah Dasar (SD) mencapai 821.360 murid pada tahun ajaran 2014/2015. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan tingkat lainnya. 

dok: databoks.katadata.co.id
Berkenaan dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk melakukan reorientasi pendidikan dan pelatihan khususnya di bidang vokasi ke arah demand driven. Terutama terkait dengan kurikulum dan materi pembelajaram. Peran internet lantas menjadi salah satu aspek yang cukup krusial di era digital saat ini. Pemanfaatan internet dapat menjadi salah satu strategi peningkatan budaya mutu pendidikan khususnya mutu Sekolah Dasar (SD) di tanah air diantaranya melalui optimalisasi pembelajaran e-learning di Sekolah Dasar (SD).

Pada tahun 2014, saya tergabung dalam tim Project untuk sebuah platform bernama Jakarta Learning Center yang merupakan sumber edukasi non formal berbasis online sebagai upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Platform pembelajaran e-learning ini bertujuan menyediakan materi berkualitas untuk mendukung kehidupan sosial dan bermasyarakat pada umumnya dan para peserta didik pada khususnya terutama para siswa siswi Sekolah Dasar (SD).


Jakarta Learning Center seakan menjadi wadah yang menyediakan konten pembelajaran secara e-learning yang tidak hanya berkualitas melainkan juga inklusif karena dapat diakses oleh semua orang. Materi berkualitas yang disajikan pun beragam dan mampu menjangkau berbagai kalangan usia, pendidikan maupun jenis kelamin. Platform Jakarta Learning Center ini sekiranya dapat menjadi salah satu strategi peningkatan budaya mutu pendidikan khususnya bagi para murid Sekolah Dasar (SD) melalui pengoptimalan pembelajaran e-learning bila diterapkan dan disinkonkan dengan program pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Penutup

Pada intinya, upaya penerapan strategi dan peningkatan optimalisasi pembelajaran e-learning diantaranya melalui platform Jakarta Learning Center diharapkan akan mampu berkontribusi terhadap peningkatan budaya mutu pendidikan Sekolah Dasar (SD) yang inklusif dan berkelanjutan di era digital. Melalui penyajian materi diantaranya yang dibagi per kategori bidang, usia, dan pendidikan tentu akan memudahkan dalam pembelajaran. 

Materi-materi berkualitas yang ada disajikan dengan tampilan yang menarik baik secara infografis maupun audio visual sehingga menarik perhatian dan minat dari anak didik. Adapun materi yang disajikan diantaranya ialah misalnya: Pengertian dan Pemahaman Pancasila; 5 Langkah Pantau Petik Nyamuk di Rumah; Tips Memilih Jajanan Sehat di Sekolah; Apa Itu Demam Berdarah; 8 Tips Mencegah DBD; Enaknya Makan Siang; dan Yuk, Sarapan Pagi!


Materi yang disajikan diupayakan sederhana namun mengena dan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Tampilan konten yang menarik dan substansi materi yang berkualitas diharapkan akan mampu diterima dengan baik dan mudah oleh para murid Sekolah Dasar (SD).

Di satu sisi, selain memperhatikan dan menyiapkan strategi guna meningkatkan budaya mutu pendidikan khususnya Sekolah Dasar (SD) diantaranya melalui optimalisasi pembelajaran e-learning. Segi kualitas pengajar dalam hal ini para Guru Sekolah Dasar (SD) juga perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Berdasarkan data, Guru dengan pengalaman 15 tahun mengajar di Indonesia, termasuk salah satu profesi dengan nominal gaji paling rendah di dunia. Mengutip data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), besarnya gaji yang diterima oleh guru Sekolah Dasar (SD) di Indonesia per tahun adalah US$ 1.974.

dok: databoks.katadata.co.id
Guru dengan pengalaman 15 tahun dan mendapat gaji paling tinggi adalah di Luksemburg dengan jumlah US$ 98.788. Pada 2013, Luksemburg tercatat merupakan salah satu negara terkaya di dunia setelah Qatar dengan PDB per kapita US$ 79 ribu, sedang PDB per Kapita Indonesia adalah US$ 3.700. Perhitungan gaji ini sudah merupakan penghasilan kotor tahunan yang diterima oleh guru sebelum pajak. Angka yang dirilis OECD ini juga sudah termasuk memperhitungkan besarnya tunjangan kesehatan, asuransi dan biaya lain-lain yang diterima.

Temuan lain yang dipublikasikan pada 2014 ini adalah gaji guru ini jumlahnya akan meningkat seiring dengan naiknya tingkat sekolah tempat seorang guru mengajar. Sebagai contoh di Belgia, Denmark, Finlandia, dan Indonesia, guru dengan pengalaman yang sama akan menerima penghasilan 25 persen lebih tinggi dibanding guru yang mengajar di sekolah tingkat lebih rendah. Dalam artian Guru Sekolah Dasar (SD) di Indonesia terbilang memiliki penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan Guru Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

Referensi: 

Cat: Tulisan diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel Ilmiah Sekolah Dasar Tahun 2017