Minggu, 14 Agustus 2016

Komitmen dan Transparansi: Kunci Review Izin untuk Penataan Perizinan Sawit di Aceh

Tanaman sawit kali pertama diperkenalkan oleh kolonial Belanda dan untuk pertama kalinya ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Lantas selang 56 tahun kemudian, tanaman ini berkembang menjadi komoditas skala komersial sejak ditanam di Deli pada tahun 1904. Hingga saat ini, kelapa sawit menjadi sektor strategis yang memberikan sumbangan ekspor yang tinggi sehingga menjadi produk penting penyumbang devisa Negara. Pun, menjadi salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia. Seperti tampak pada gambar di bawah bahwasanya berdasarkan olahan Hasil Survei Perusahaan Perkebunan oleh BPS diperoleh gambaran jumlah perusahaan perkebunan besar tanaman tahunan didominasi oleh kelapa sawit dengan tren yang terus meningkat (periode 2000-2014)

dok: pribadi (diolah)

Kementerian Pertanian dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) merilis bahwa ada sekitar 10,4 juta hektar lahan sawit di Indonesia, dan produksi sawit Indonesia pada tahun 2015 ialah sebesar 32,5 juta ton dimana 81 persen produk ditujukan untuk ekspor. Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dengan pendapatan ekspor lebih dari US$15 miliar per tahun atau menyumbangkan 3 persen pendapatan ekonomi per kapita. Di bawah ini tertera daftar grup besar Industri Kelapa Sawit di Indonesia lengkap dengan grup induk kelapa sawit serta negara asalnya sebagaimana dilansir oleh laman mongabay.



dok: mongabay.co.id

Di satu sisi, komoditas sawit kerap dikaitkan dengan berbagai masalah lingkungan dan sosial dan hal inilah yang menjadi titik tolak permasalahan dan persoalan utama. Oleh karenanya, industri sawit memiliki tantangan dalam implementasi praktik-praktik bertanggung jawab dan berkelanjutan terhadap lingkungan agar tetap lestari. Hal ini tentu memerlukan komitmen bersama dari para stakeholder terkait terutama pelaku industri sawit dalam melakukan upaya strategis guna menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Janji Moratorium

Pada bulan April 2016 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan rencana pemerintah untuk memberlakukan moratorium perluasan izin perkebunan sawit. Presiden Jokowi menyatakan bahwa perkebunan sawit di Indonesia harus diarahkan kepada intensifikasi berupa peningkatan produktivitas, bukan lagi berorientasi pada perluasan (ekstensifikasi). Sebagaimana pernyataan Bapak Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini dinilai telah mencukupi sehingga perlu adanya persiapan aturan penundaan pembukaan lahan sawit baru. Adapun lahan yang telah ada dapat ditingkatkan kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi. 


Sebagaimana dilansir oleh laman DPR RI pada 19 April 2016, dijelaskan bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IV DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), anggota dewan DPR RI juga mempertanyakan salah satunya tentang moratorium sawit. RDP antara Komisi IV dengan pihak kementerian dalam hal ini Sekjen Kementerian LHK, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan serta Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK memiliki agenda pembahasan tentang Hak Guna Usaha (HGU) dan Alih Fungsi Lahan yang terkait proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta termasuk masalah moratorium sawit didalamnya, mengingat masih banyak lahan sawit yang dioperasikan tanpa izin berdasar temuan di lapangan. Moratorium dirasa penting karena bila diiringi dengan peningkatan tata kelola, nantinya diharapkan akan dapat memberi dampak sehingga memberikan keuntungan kepada Negara dan rakyat, bukan hanya sekelompok kecil orang saja.

Adapun dalam Rapat Kerja (Raker) antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian LHK pada Juni 2016 lalu dengan agenda rapat Membahas APBN-P Tahun 2016, dihasilkan simpulan rapat yang salah satunya: Komisi IV DPR RI meminta Kementerian LHK agar pada APBN-P Tahun 2016 memprioritaskan untuk program kerakyatan dan program perlindungan serta pemulihan hutan. Hal ini tentu menyiratkan maksud bahwa hutan kian menjadi fokus perhatian semua pihak tanpa terkecuali dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.


dok: dpr.go.id

dok: dpr.go.id

Sawit yang (Maaf) Semrawut

Sejalan dengan ekspansi perkebunan sawit, berdasarkan studi yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) pada tahun 2014, menghasilkan simpulan bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan pada periode 2000-2012 yang sebagian besar diperuntukkan untuk konversi perkebunan sawit. Pada tahun 2014, berdasarkan status pengusahaannya, produksi minyak sawit dari perkebunan swasta sebanyak 16,50 juta ton minyak sawit (56,25 persen), perkebunan rakyat 10,68 juta ton (36,41 persen), dan perkebunan besar negara 2,16 juta ton (7,34 persen). Inilah salah satu alasan kenapa moratorium mendesak perlu dilakukan. Diagram di bawah menunjukkan perkembangan sawit di Indonesia selang 2004 hingga 2014. Data dari Ditjenbun ini menunjukkan bahwa perkebunan swasta mendominasi dan terus mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan perkebunan rakyat yang berada di urutan kedua disusul oleh perkebunan negara.

dok: mongabay.co.id

Bila menyorot Provinsi Aceh maka berdasarkan data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga Maret 2015, luas perkebunan di Provinsi Aceh mencapai 1.195.528 hektar. Dengan rincian, perkebunan besar memiliki luasan HGU mencapai 385.435 hektar, sementara perkebunan rakyat 810.093 hektar.

Luas HGU di Aceh Utara mencapai 35.200 hektar dengan 12 perusahaan. Sementara perkebunan rakyat sekitar 70.663 hektar. Sementara data yang dikeluarkan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, luas kerusakan hutan atau deforestasi di Kabupaten Aceh Utara pada 2014-2015 mencapai 1.771 hektar. Deforestasi tersebut diantaranya disebabkan oleh beralihnya hutan menjadi perkebunan. 

Sedangkan data perkembangan sawit di Kab. Aceh Tamiang menunjukkan sekitar 80 persen dari wilayah telah dikuasai oleh pemilih HGU sawit dan dapat dipastikan kedepannya pemerintah akan kesulitan dalam membangun dan menyediakan fasilitas pelayanan publik dikarenakan kurangnya ketersediaan lahan.

Belum lagi kaitan antara kasus perambahan hutan menjadi perkebunan sawit yang seringkali menyebabkan timbulnya kasus konflik agraria dan berdampak tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan dari usaha perkebunan. Semisal, di kawasan Kab. Aceh Singkil yang notabene merupakan kabupaten miskin di Provinsi Aceh. Didalamnya terdapat beberapa perusahaan perkebunan sawit yang mengelola puluhan ribu hektar lahan untuk ditanami sawit. Sekitar 36,65 persen dari luas keseluruhan Kab. Aceh Singkil telah menjadi lahan sawit namun apa yang terjadi? Kabupaten ini masih tetap termasuk dalam daerah tertinggal dan salah satu yang termiskin di Indonesia. Disinyalir keberadaan perkebunan sawit di Aceh Singkil tidak berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi. Hal ini membuktikan terjadinya paradoks bahwa luasan perkebunan kelapa sawit berbanding terbalik dengan perekonomian masyarakat dan daerah.

Adapun kerusakan dan alih fungsi lahan dari kehutanan menjadi area non kehutanan yaitu perkebunan di wilayah Aceh khususnya Kawasan Ekosistem Leuser terus menjadi sorotan kelompok masyarakat. Apa pasal? Hal ini dikarenakan perizinan yang terus dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. 

dok: mongabay.co.id

Dampak Positif Review Izin Usaha 

Berdasar pemantauan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), secara keseluruhan pemerintah telah menerbitkan izin usaha perkebunan di 23 kabupaten/kota di seluruh Aceh tanpa adanya review terhadap izin yang ada! Padahal review sangat penting untuk memastikan prosedur ketaatan dan kepatuhan perusahaan di lapangan telah berjalan secara baik dan benar, termasuk didalamnya ketaatan dalam menggarap lahan sesuai dengan ketentuan luas areal dan izin yang diberikan. 

Review izin usaha dalam hal ini perkebunan perusahaan sawit merupakan bagian dari penataan perizinan di Aceh. Review izin atau peninjauan kembali izin merupakan salah satu sarana untuk melihat ketaatan izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Review izin pada prinsipnya adalah pemeriksaan penerbitan izin berdasarkan hukum yang berlaku (pemeriksaan legalitas izin). 

Adapun dampak positif dari dilakukannya review izin oleh pemerintah terhadap izin usaha perkebunan kelapa sawit di Aceh yaitu menghasilkan review izin yang nantinya akan menunjukkan perusahaan mana yang taat dan tidak terhadap aturan-aturan yang berlaku, menjalankan atau tidak menjalankan kewajiban-kewajibannya. Hal ini semata demi kemaslahatan umat karena masyarakat juga berhak atas fasilitas pelayanan publik yang memadai.

Beberapa persoalan ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah agar pada masa pemerintahannya tetap menjaga kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini nantinya juga akan menjadi bukti komitmen pemerintah daerah setempat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Sehingga transparansi menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi!

Upaya Pemerintah dan Solusi Alternatif

Terkait dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh untuk melakukan review izin usaha perkebunan perusahaan sawit di Aceh dapat terlihat misalnya di Aceh Utara dimana selama ini daerah Aceh Utara cukup populer dikenal sebagai salah satu kabupaten penghasil devisa terbesar. Pada Juni 2016, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh telah mengirimkan surat edaran kepada para pemegang HGU/Izin Usaha Perkebunan dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Hal ini merupakan langkah review izin perkebunan kelapa sawit dan persiapan kebijakan moratorium. Aceh Utara tidak akan kehilangan pamornya karena daerah ini merupakan kawasan industri terbesar di Provinsi Aceh dan terbesar di luar Pulau Jawa. Kekayaan gas alamnya telah menarik banyak investor baik luar maupun dalam negeri. Walau demikian, sebagian besar masyarakat masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian dimana wilayah ini dikenal juga sebagai penghasil padi. Komoditas potensial di samping padi ialah kedelai.

Kab. Aceh Tamiang yang merupakan hasil pemekaran dari Kab. Aceh Timur membudidayakan tanaman perkebunan diantaranya kelapa sawit dimana komoditas ini diproses menjadi CPO oleh beberapa perusahaan BUMN/BUMD. Tapi sesungguhnya terdapat opsi selain perkebunan kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan karena daerah ini merupakan kawasan yang kaya minyak dan gas meski jumlahnya tidak sebesar Aceh Utara. Langkah antisipatif solutif dapat dioptimalkan dengan berfokus pada pengembangan diantaranya sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian dan kontribusi terbesar diperoleh dari tanaman pangan semisal padi, palawija, serta hortikultura seperti sayur dan buah.

Sedangkan Kab. Aceh Singkil yang memiliki komoditas unggulan di bidang perkebunan yaitu kelapa sawit, meskipun memiliki empat pabrik untuk mengolah kelapa sawit menjadi CPO, pengolahan lebih lanjut masih harus diangkut ke Kab. Aceh Timur dan Sumatera Utara. Hal ini disinyalir menjadi salah satu alasan kenapa terjadi paradoks belum begitu berdampaknya komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Patut diketahui bahwa komoditas unggulan lainnya ialah di sektor perikanan dan kelautan tapi sayangnya pemanfaatan dari hasil kelautan ini kurang dimanfaatkan dengan maksimal. Akibatnya, aktivitas ekonomi di bidang perikanan dan kelautan belum begitu berperan penting dibandingkan sektor pertanian.

Selain itu masih ada upaya pemerintah yang perlu dilakukan kaitannya dengan penegakan Review Izin Usaha yaitu berupa pelibatan partisipasi kelompok kaum perempuan guna mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Percaya atau tidak, berdasar kajian analisis perempuan akan lebih efektif meningkatkan kondisi hutan jika membentuk “masa kritis” partisipasi 25 hingga 30 persen. Perempuan perlu dihadirkan dalam tata kelola institusi karena hubungan perempuan dengan hutan begitu kompleks.

Terlepas dari isu gender yang menaunginya, kini saatnya untuk menciptakan kesadaran dan kesetaraan antar lelaki dan perempuan dalam tata kelola hutan melalui peningkatan partisipasi perempuan. Oleh karenanya dampak yang dirasakan oleh kaum perempuan terhadap izin usaha perkebunan sawit dan juga partisipasi kelompok perempuan dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh perlu digalakkan. Pemerintah terutama perlu mendorong lebih banyak terciptanya keberadaan perempuan dalam asosiasi hutan guna memberi dampak terhadap review izin usaha perkebunan sawit kaitanya dengan penataan perizinan.

Referensi:
Cat: Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor Bidang Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Penulis pernah menjadi Tenaga Ahli Anggota Dewan DPR RI Komisi IV yang membidangi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Pertanian dan Pangan, serta Perikanan dan Kelautan. Saat ini penulis terlibat kerjasama dengan Kementerian Perindustrian RI dan tergabung dalam Tim Praktisi untuk Project One Map Policy Kawasan Industri.

Nb: Tulisan diikutsertakan dalam Lomba Blog: “Review Izin untuk Penataan Perizinan” oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

1 komentar: