Kamis, 04 Mei 2017

Ekonomi Digital dan Inklusivitas: Sebuah Kolaborasi Inovasi

Fenomena ekonomi digital merupakan sebuah arena baru yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi informasi yang berubah sedemikian cepat. Berbeda dengan konsep ekonomi klasik, ekonomi digital berhubungan erat dengan teknologi komputer dan telekomunikasi yang memegang peranan penting karena kemampuannya untuk menembus batas-batas ruang dan waktu.



Ekonomi digital didefinisikan oleh Amir Hartman sebagai “the virtual arena in which business actually is conducted, value is created and exchanged, transactions occur and one-to-one relationship mature by using any internet initiative as medium of exchange”. Keberadaannya ditandai dengan semakin maraknya perkembangan bisnis atau transaksi perdagangan yang memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi, kolaborasi dan koperasi antar perusahaan ataupun antar individu. Hal ini ditandai dengan maraknya beragam perusahaan yang terjun ke dalam format bisnis elektronik e-business dan e-commerce.

Tentunya untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan dalam ekonomi digital, para pemain perlu memahami karakteristik dari konsep yang menjadi landasannya karena ekonomi digital sangat berbeda dengan ekonomi klasik yang selama ini dikenal. Tidak jarang perusahaan harus melakukan transformasi bisnis agar dapat secara optimal bermain di dalam arena ekonomi digital.

Hal ini disebabkan dalam pengimplementasiannya memerlukan model bisnis yang sama sekali baru. Bagi perusahaan baru (start-up company), untuk terjun ke bisnis ini biasanya lebih mudah dibandingkan dengan perusahaan yang telah lama berdiri. Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan lama yang ingin memanfaatkan keberadaan ekonomi digital harus mengadakan perubahan yang mendasar pada proses bisnisnya secara radikal. 

Ekonomi Digital merupakan Kecenderungan Baru (dok: pribadi)

Pada dasarnya, organisasi yang akan bertahan dalam era ekonomi digital ialah yang berhasil menerapkan bentuk molekul yang merupakan suatu sistem dimana organisasi dapat dengan mudah beradaptasi dengan setiap perubahan dinamis yang terjadi di lingkungan sekitar perusahaan. Ciri khas lain dari arena ekonomi digital ialah kecenderungan berkurangnya mediator sebagai perantara terjadinya transaksi antara pemasok dan pelanggan. Pada akhirnya kalimat “old habit is hard to die” secara tidak langsung menyiratkan bahwa era ekonomi digital merupakan arena bertarung bagi eksekutif muda yang enerjik, kreatif dan senang berpetualang.

Ekonomi digital merupakan kecenderungan baru yang sedang berkembang di dunia yang didorong oleh perkembangan pesat telekomunikasi yang kemudian mengubah banyak sektor termasuk bisnis. Disinilah semua harus berlomba-lomba untuk mengambil manfaat dan peluang yang dibawa oleh perubahan teknologi tersebut. Semacam keharusan jaman. Perlu disadari bahwa paradigma ekonomi digital atau ekonomi jaringan memberi nuansa baru dalam penciptaan peluang usaha yang berbasis aglomerasi kerakyatan melalui dukungan teknologi informasi yang semakin hari semakin efisien, mudah dan murah serta menjangkau dunia sehingga kekayaan budaya bangsa kita juga bisa berpartisipasi dan ikut menentukan warna dalam “global culture” (Kadi 2008b)

Berdasarkan pemahaman yang ada maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan pembangunan daerah diantaranya yaitu perlu disadari bahwa paradigma ekonomi digital memberi nuansa baru dalam penciptaan peluang usaha yang berbasis aglomerasi kerakyatan melalui dukungan teknologi informasi yang semakin hari semakin efisien, mudah dan murah (Kadi 2008a)

Kabar baiknya berdasarkan Laporan World Economic Forum (2015) dalam Utomo (2017) memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020 bertepatan dengan ditetapkannya Year of Financial Inclusion 2020. Hal ini mempertegas peluang keuangan digital, diperkuat dengan kenyataan baru sekitar 36 persen orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di bank atau sekitar 120 juta orang masuk dalam kategori unbanked.

Rasio Kepemilikian Rekening Bank Orang Dewasa di Negara Asia Tenggara 2014 (dok: DATABOKS)

Tantangannya ialah pemanfaatan jasa keuangan di Indonesia masih rendah. Berdasarkan survei Financial Inclusion Index (Global Findex) pada tahun 2014 disebutkan bahwa kepemilikan rekening bank orang-orang dewasa di Indonesia hanya sebesar 36 persen. Angka tersebut tertinggal dari negara-negara di Asia Tenggara lain dan masih jauh dari rata-rata global sebesar 62 persen.

Sebagaimana dilansir oleh Data Statistik yang berasal dari situs DATABOKS bahwa meski meningkat dibanding tahun 2011 yang hanya sekitar 19,6 persen, tapi angka itu masih jauh dari target keuangan inklusif sebesar 50 persen. Dalam Nawacita ketujuh, Jokowi berkeinginan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Untuk itu pentingnya pengetahuan tentang jasa keuangan serta diperlukan upaya untuk mulai memanfaatkan jasa keuangan dan dikenalkan semenjak dini khususnya dari usia sekolah demi mewujudkan cita-cita tersebut.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet, berkat perkembangan infrastruktur dan mudahnya mendapatkan smartphone atau perangkat genggam. Angka ini naik pesat dari tahun 2014 yang hanya mencapai 88 juta orang. Statistik Indonesia tahun 2016 juga melansir bahwa penggunaan internet oleh rumah tangga semakin meningkat. Tahun 2014 misalnya, penggunaan internet oleh rumah tangga mencapai 35,64 persen.

Industri perbankan pun melihat gap ini, maka mereka langsung bergerak maju dan berkolaborasi untuk meningkatkan sistem, strategi dan fungsi, agar masyarakat dapat membuktikan bahwa transaksi dengan bantuan teknologi itu mudah. Masing-masing pelaku usaha berperan sesuai kapasitasnya, mendorong pertukaran pengetahuan dan keahlian untuk menyediakan layanan terkini guna menguatkan customer transaction behavior. 

Digital Banking: Inovasi Awal

Memahami gap layanan dan potensi pemanfaatan teknologi yang demikian besar merupakan kata kunci. Hal ini lantas membuat perbankan melahirkan mobile dan internet banking yang terbukti efektif dalam memperluas jangkauan layanan dan menyiasati tantangan geografis.


Inovasi tersebut juga berhasil menciptakan efisiensi serta membuka opsi terhadap lebih banyak pilihan produk dan layanan perbankan seiring dengan semakin digemari cara-cara pemasaran online. Melalui pengoptimalan perangkat genggam, nasabah dapat melakukan pembayaran, transfer dana hingga tarik tunai dengan mudah melalui sentuhan jari.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa jumlah nasabah pengguna e-banking meningkat 270 persen dari 13,6 juta nasabah pada tahun 2012 menjadi 50,4 juta pada tahun 2016. Sementara itu dari sisi frekuensi transaksi, nilainya tumbuh 169 persen dari 150,8 juta transaksi pada tahun 2012 menjadi 405,4 juta transasksi pada tahun 2016.

Turut dalam arus perkembangan teknologi, layanan financial technology atau yang sering disebut sebagai fintech atau teknologi finansial (tekfin), beberapa tahun belakangan ini menjadi salah satu industri yang tumbuh pesat di Indonesia. Utomo (2017) melaporkan bahwa nilai transaksi fintech di Indonesia telah mencapai 15 miliar dollar AS. Besarnya penetrasi pemanfaatan teknologi digital di Indonesia membuat pemerintah pun menjadikan ekonomi digital sebagai salah satu fokus utama. 

Pada tahun 2020, Indonesia diharapkan menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di kawasan dengan potensi sebesar 130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.690 triliun. Melalui inovasi layanan dan produknya, fintech dipercaya dapat mendorong ekonomi digital dengan membuka akses terhadap layanan keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat. Melalui karakter yang mobile dan efisien, fintech diharapkan mampu menjawab tantangan yang tidak dapat dijawab oleh layanan keuangan tradisional sebelumnya.

Sebagai contoh kasus sebagaimana diungkapkan oleh Rotich (2013) dalam uraiannya di Forum TEDX tentang BRCK yaitu berupa akses internet yang dibangun untuk Afrika. Rotich menyadari bahwa Revolusi Digital belum terjadi secara merata di seluruh benua dan bangsa. Kendati demikian ide berupa blok-blok pembangun dari ekonomi digital yang diupayakan ialah berupa konektivitas dan bisnis mandiri harus terus dijalankan. BRCK sendiri merupakan bagian untuk menjaga warga Afrika agar tetap terhubung dan membantu masyarakat di Afrika dalam menggerakkan revolusi digital secara global. 

Bank - Fintech: Kolaborasi Model Bisnis Baru

Fintech merupakan fenomena berupa perpaduan antara teknologi dengan fitur keuangan. Sebagai sebuah inovasi di sektor keuangan yang menyediakan transaksi keuangan, Fintech telah berkembang menjadi layanan yang lebih praktis dan aman.


Munculnya fintech merupakan fenomena yang tak terhindarkan dan pertumbuhannya tak terbendung. Bank dan fintech sama-sama memiliki misi memberi pengalaman terbaik pada nasabah dan oleh karenanya saling melengkapi. Sinergi bank-fintech akan memastikan berkurangnya blind spots dari masing-masing layanan sebagai hasil dari perpaduan kekuatan masing-masing pihak.

Terkait kolaborasi bank-fintech, model bisnis menjadi satu hal yang perlu dikaji. Penyedia layanan fintech dengan model bisnis yang lincah, fleksibel dan dapat disesuaikan menjadi syarat ideal. Sementara, prinsip bisnis 3S: secure (aman), swift (cepat) dan simple (sederhana) menjadi ciri keunggulan perbankan yang perlu dipertahankan.

Dari sisi SDM, fintech diperkuat oleh talenta muda yang inovatif, penuh kreatifitas, dinamis dan responsif dalam menjawab kebutuhan nasabah. Sebaliknya perbankan yang model bisnisnya sudah jauh lebih matang didukung para profesional dengan pengetahuan mendalam terkait industri finansial dan menguasai customer database yang luas. Saat ini telah terdapat sejumlah produk dan layanan perbankan yang didukung fintech misalnya virtual account yang memungkinkan pembayaran atau transaksi keuangan tanpa akun bank. 

Mengakses virtual account menjadi semakin mudah seperti menggunakan smartphone. Nasabah dapat menerima atau pun mengeluarkan dana dengan bantuan aplikasi. Kegiatan disbursement dana juga berjalan lebih efisien melalui bantuan fintech. Perbankan pun merasakan manfaat fintech yang semakin besar utamanya saat ini di area pembayaran dan pembiayaan.

Pada akhirnya kesesuaian misi dan semangat antara bank dan penyedia fintech akan menciptakan akses dan kualitas layanan keuangan bagi seluruh masyarakat Indonesia termasuk mereka yang unbanked dan mewujudkan ekonomi digital seperti yang dicita-citakan.

Nilai transaksi fintech di Indonesia pada 2016 diperkirakan mencapai US$ 14,5 miliar setara Rp 190 triliun. Nilai tersebut merupakan 0,6 persen dari nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$ 2.355,9 miliar. Adapun transaksi Fintech Singapura sebesar US$ 10,6 miliar. 

Sementara untuk nominal transaksi Fintech per populasi Indonesia US$ 56,98. Jumlah tersebut masih kalah jauh dibanding dengan Negeri Singa yang mencapai US$ 1.938 per populasi. Namun Fintech Indonesia berpotensi untuk berkembang mengingat visi ekonomi digital Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat transaksi di Asia Tenggara.

Perkiraan Nominal Transaksi Fintech di Beberapa Negara 2016 (dok: DATABOKS)

Literasi Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mempublikasikan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) pada 2016. Indeks literasi keuangan tertinggi masih didominasi provinsi di kawasan-kawasan Jawa dan Bali. Skor indeks tertinggi terjadi di DKI Jakarta mencapai 40 persen. Diikuti Jawa Barat dan DI Yogyakarta dengan 38,70 persen dan 38,55 persen.


Sementara secara nasional, indeks literasi keuangan Indonesia pada 2016 mencapai 29,66 persen. Angka tersebut meningkat dibanding survei serupa pada 2013 yang tercatat sebesar 21,84. Indeks literasi keuangan SBLIK pada 2016 mencakup 9.860 responden di 34 provinsi yang tersebar di 64 kota/kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan gender, strata wilayah, umur, pengeluaran, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.

Provinsi dengan Indeks Literasi Keuangan Tertinggi 2016 (dok: DATABOKS)

Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEForum), Indeks pemerataan pembangunan di Indonesia masih rendah yaitu berada pada peringkat ke-22 dari 79 negara berkembang. Peringkat ini masih di bawah Thailand dan Malaysia, yang masing-masing menempati posisi 12 dan 16. Jika mengacu kepada skor indeks Indonesia sebesar 4,29, sebenarnya hanya berselisih 10 poin dengan Malaysia yang mendapatkan skor 4,39; dan selisih 13 poin dengan Thailand yang mendapatkan skor 4,42.

Namun demikian, pemerataan pembangunan di Indonesia masih lebih baik dibanding Vitenam yang berada di peringkat 25 dengan skor 4,25, maupun Filipina dan Kamboja yang berada di posisi 40 dan 43 dengan skor masing-masing sebesar 4 dan 3,97. Perhitungan indeks pembangunan inklusif tersebut berdasarkan tiga pilar, yaitu pertumbuhan indikator makroekonomi; indikator inklusi atau tingkat kesejahteraan dan penghasilan; dan kondisi keuangan masyarakat.

Indeks Pembangunan Inklusif Negara Asia Tenggara (dok: DATABOKS)
Peran Ekonomi Digital terhadap Pertumbuhan dan Inklusi Keuangan

Di tengah kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian, perekonomian Indonesia yang berbasis konsumsi masih memiliki daya tahan. Hal ini ditunjukkan dengan positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga triwulan III-2016 sebagaimana dilansir oleh Indonesia Dalam Angka.


Pertumbuhan konsumsi yang cukup tinggi tersebut antara lain didorong oleh semakin mudahnya aktivitas jual beli melalui berbagai platform, yang semakin memudahkan konsumen untuk memperoleh barang dan jasa. Aktivitas belanja daring tersebut, lanjutnya, dapat menghubungkan konsumen langsung dengan produsen, termasuk berbagai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari seluruh Indonesia. Namun, berbagai kemudahan yang ditawarkan ekonomi digital tersebut disertai pula dengan berbagai risiko, khususnya di sisi stabilitas sistem keuangan, sistem pembayaran, cyber security, integritas dan keamanan transaksi keuangan, serta perlindungan konsumen.

Peran Ekonomi Digital terhadap Pertumbuhan dan Inklusi Keuangan (dok: pribadi)

Dalam konteks tersebut, teknologi keuangan (fintech) dipandang dapat menjembatani kebutuhan dan menggerakkan kegiatan sektor UMKM serta masyarakat secara luas, sekaligus turut mendorong inklusi keuangan. Akhir kata, guna memitigasi risiko yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian secara luas, peran regulator dibutuhkan untuk menyusun kerangka pengaturan sebagai respons dari perkembangan teknologi digital atau financial technology yang sangat pesat. Oleh karena itu, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta inklusi keuangan di era ekonomi digital membutuhkan sinergi antara otoritas terkait. 

Referensi:

Ket: Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis pernah menjadi Tenaga Ahli Anggota Dewan DPR RI dengan Alat Kelengkapan Dewan yaitu Badan Anggaran. Penulis juga pernah mengikuti Internship di Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Cat: Tulisan diikutsertakan dalam Datablog Competition "Kenali Indonesia dengan Data"

4 komentar:

  1. Selamat, gan. Artikelnya juara 3!
    Congratulations!

    BalasHapus
  2. selamaat ya mbaa Yesii Juara 3 lomba blog katadataa.... ^^ artikelna keren eeuii....

    BalasHapus