Jumat, 02 Desember 2016

Kesehatan Reproduksi: Bukan Hanya Perkara Organ Intim Semata Melainkan Seksualitas

“Loe tau gak sih si X kan udah nikah sama si Y. Mereka sekarang udah punya anak lho”
“Ah, masa sih. Anj*y! Gue mah kiranya si X jadian sama si Z”
“Kagaaaaak!”
Percakapan “HOT” ini terjadi di dalam angkot pada siang hari yang terik. Saya berhasil mengupingnya karena obrolan mereka terdengar jelas. Yang menarik bukanlah topik obrolan mereka, apalagi tentang si X yang ternyata telah menikah dengan si Y ataupun kecurigaan atas si X yang berpacaran dengan si Z, melainkan ialah sosok si pengobrol pengobral cerita tersebut.

Dua orang anak perempuan duduk persis tepat di depan saya. Hmm, saya menduga mereka berusia belasan dan belum tamat SMP. Anak perempuan yang pertama berpakaian feminin dengan rok mini di atas lutut, flat shoes yang dikenakannya berwarna senada dengan rok mininya. Wajahnya putih bersih berkat dempulan bedak, lengkap dengan lipstik yang merona di bibir. Behel warna warni pun menghiasi giginya. Sepanjang perjalanan tiada hentinya dia sibuk memperhatikan gadget dalam genggaman. Sesekali dia menyibak rambut yang tampak kecoklatan. Sepintas dia memang mirip artis yang kerap mondar mandir di layar kaca dalam tayangan sinetron stripping, Nikita Willy.

Sedangkan anak perempuan yang satunya lagi, tampak lebih maskulin. Dia mengenakan kemeja denim dan celana jeans robek-robek yang bolong di kedua lututnya. Rambutnya panjang dan dikuncir kuda. Kulitnya tampak lebih legam tanpa polesan bedak sedikitpun, tapi lipstik tetap menghiasi bibirnya yang mungil tersebut. Sepintas dia mungkin mirip... bapaknya! Hehe. 

Tanpa sepengetahuan mereka, saya terus menguping dan memperhatikan mereka dalam diam. Insting kepo saya jalan dan mulai beraksi perlahan. Tapi tahukah kalian apa yang ada dalam benak saya?

Miris!

Saya menangkap ada “kegelisahan” dalam obrolan mereka. Saya menduga keduanya merasa tidak terima dengan teman seumuran mereka yang telah menikah dan memiliki anak sedangkan mereka masih betah bergonta ganti pacar. Fyi, sepanjang perjalanan masing-masing dari mereka kerap melontarkan pernyataan bahwa mereka tengah berpacaran dengan si A, tidak lagi dengan si B tapi ada si C yang kemudian mencoba mendekat.

PLEASE!
Seharusnya kekhawatiran semacam itu lebih tepat dimiliki oleh seorang perempuan single berusia 27 tahun yang masih berjuang menyelesaikan tugas akhir dan belum juga dilamar oleh kekasihnya, bukan? #eh
Seingat saya ketika berusia sepantaran mereka, boro-boro disibukkan dengan si anu lah si itu lah ataupun gadget kekinian, saya malah lebih disibukkan dengan PR fisika dan tugas prakarya dari sekolah. Setibanya di rumah pun harus membantu ibu menyapu dan mencuci piring serta tidur siang. Belum lagi malamnya sebelum tidur harus mengajari adik dan sesekali mengerjakan PR nya.

Tapi dinamika perkembangan zaman berkata lain dan menuntut hal yang berbeda. Tipikal yang terjadi pada anak-anak usia belasan zaman dulu terutama di era 90-an kemungkinan besar tidak lagi terjadi pada anak-anak zaman sekarang apalagi nanti di masa depan. Anak zaman sekarang sebagaimana realitas yang dapat diamati dalam keseharian tampak disibukkan dengan "tren ikut-ikutan" dan berlagak (maaf) serampangan, baik tingkah laku maupun tutur kata. Sebenarnya inilah kegelisahan yang sesungguhnya.

Fenomena yang terjadi semakin mendukung data yang berhasil diperoleh. Sebagaimana dilansir oleh Bank Dunia dalam Statistik Kesehatan tentang data “Teenage mothers” berdasarkan persentase perempuan berusia 15 – 19 tahun yang telah memiliki anak maupun yang sedang hamil maka Indonesia cukup memegang peranan karena jumlahnya sekitar 10 persen di tahun 2012. 

Persentase "Teenage Mother" (dok: Data Finder Health Stat The World Bank via playstore)
Berdasarkan data yang ada maka memperhatikan kesehatan reproduksi para remaja semenjak dini menjadi suatu keharusan dan tanggung jawab semua pihak. Adapun pemerintah telah berupaya salah satunya melalui upaya pemerintah dalam hal ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yaitu melalui layanan informasi periklanan yang sarat akan informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi.


Tempo hari saya mengikuti “Seminar Pernikahan” dan salah satu sesi yang menarik dalam seminar tersebut ialah tentang Kesehatan Reproduksi. Topik tersebut menjadi suatu hal yang penting untuk dipersiapkan terutama sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.

Seminar pernikahan membahas tentang kesehatan reproduksi (dok: pribadi)
Berdasarkan Kamus Kesehatan Reproduksi (Kamus Kespro) diperoleh definisi Kesehatan Reproduksi yaitu:
“Suatu keadaan sehat jasmani, psikologis dan sosial secara utuh yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi” (ICPD 1994)
Informasi seputar kesehatan reproduksi dan seksualitas perlu diberikan kepada remaja sedini mungkin guna meningkatkan pemahaman mereka khususnya tentang pubertas, resiko perilaku seksual tidak aman, tentang proses mengenal diri sendiri, tentang hubungannya dengan lingkungan maupun keluarga serta mitos dan fakta yang kerap berkembang di sekeliling mereka.

Pubertas pada remaja perempuan (dok: App 12+ via playstore)
Pubertas pada remaja laki-laki (dok: App 12+ via playstore)
Kesehatan reproduksi tidak hanya berbicara tentang organ intim semata, melainkan juga tentang kesehatan secara jasmani, psikologis dan sosial. Semisal hubungan antara diri para remaja dengan lingkungannya. Tak bisa dipungkiri bahwa faktor lingkungan memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dalam tumbuh kembang para remaja. Sehingga penting memberikan arahan tentang apa upaya yang harus dilakukan ketika misalnya ada teman yang mengajak mereka melakukan hal-hal negatif?

Kesehatan Reproduksi tentang Hubungan dengan Lingkungan (dok: App 12+ via playstore)
Lantas, kembali lagi kepada keluarga yang menjadi pilar utama proses pembelajaran. Bila ada pertanyaan “Apa pentingnya keluarga bagi remaja?”, maka jawabnya ialah: SANGAT PENTING! Keluarga sangat penting bagi remaja karena pertumbuhan dan perkembangan remaja sangat dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan keluarganya. Keluarga bisa memberi cinta dan perasaan berharga, memberikan rasa keamanan dan rasa memiliki yang dapat membantu para remaja mengembangkan self-esteem yang penting untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain.

Pada akhirnya, pemberdayaan (bukan memperdaya!) khususnya terhadap para remaja perempuan guna menentukan masa depan (baca: disini) menjadi kebutuhan yang mendesak perlu dilakukan apalagi dalam menghadapi era bonus demografi mendatang. Tidak hanya terlepas dari penyakit maupun kecacatan, melainkan sejahtera secara fisik, mental dan sosial seutuhnya. Jadi, konsep seksualitas yang menyangkut beragam dimensi yang sangat luas diantaranya biologis, sosial, psikologis, kultural dan lainnya perlu diperhatikan. Adapun masa depan yang terselamatkan nantinya tidak hanya diri mereka sendiri, melainkan generasi yang akan dihasilkannya. Perempuan kelak dapat menjadi madrasah dan atau tempat pembelajaran pertama bagi anak-anaknya. Mereka lah tiang utama penyangga dalam keluarga. 


Cat: tulisan diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Artikel #SWOP2016 Competition oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar