Jumat, 20 Oktober 2017

Perempuan dan Kekerasan: Mengintai yang Berpendidikan

"Yes, kita semua disini single. Jadi, tenang aja!”


Ucap salah seorang rekan tim kerja ketika kami tengah berkumpul di basecamp pasca menyelesaikan pekerjaan lapang terkait dengan labor market assessment. Well, di usia saya yang menjelang kepala 3 dan belum menikah, pertanyaan kenapa dan kapan seringkali menghantui dimanapun dan kapanpun berada. Apalagi pandangan sinis kebanyakan orang ketika melihat perempuan yang memilih untuk giat bekerja dan seakan melupakan kodratnya untuk berkeluarga. 

Saya menyadari pernyataan tersebut dilontarkan guna membuat saya nyaman mengingat dalam tim kerja tersebut saya tergolong paling muda belia dari segi usia bila dibandingkan kebanyakan mereka yang tampak terpaut usia lumayan berbeda. Saya mengamini pernyataan bahwa kami merupakan sekumpulan perempuan “single” yang gemar bekerja dan berupaya mandiri untuk menghidupi diri sendiri. Tapi, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah kenapa disebut “single”? Padahal dengan mata kepala sendiri saya melihat beberapa rekan kerja saya turut serta membawa anak mereka.

Awalnya saya merasa sungkan mempertanyakannya, tapi kemudian mereka (re: para perempuan tangguh dengan kisahnya masing-masing tersebut) dengan sukarela dan sikap terbuka berbagi cerita dan pengalaman tentang lika liku kehidupan yang mereka jalani yang jujur saja sangat membuka wawasan saya tentang apa arti kehidupan, pengorbanan dan perjuangan yang sesungguhnya. Saya merasa berhutang budi terhadap para perempuan hebat ini. Oleh karenanya sangat disayangkan jikalau saya menyimpan kisah inspiratif yang saya peroleh dan miliki tersebut seorang diri.

Pada akhirnya saya memperoleh lebih dari sekedar pengalaman kerja maupun pendapatan untuk penghidupan, melainkan pelajaran kehidupan yang luar biasa bermakna. Sebut saja Mba Rami, di usianya yang matang dan mapan memilih untuk mengabdikan diri dalam aksi sosial atas nama kemanusiaan. Dia bukannya menunda untuk menikah, hanya saja keinginannya untuk berbagi lebih besar daripada kepentingan pribadinya tersebut. Selain itu, ada Mba Nihus di usianya yang matang memilih untuk mengembangkan potensi dan keahlian fotografi yang dimiliki. Pengalaman pernah tersakiti seakan terobati sembari menggeluti hobi yang diminati. Selanjutnya yang tidak kalah hebatnya ialah Mba Biru, seorang perempuan tangguh yang memegang teguh prinsip hidupnya. Perjuangannya mempertahankan biduk rumah tangga di tengah badai perselingkuhan, pengkhianatan atas kepercayaan, kekerasan dalam rumah tangga maupun perjuangan memperoleh hak asuh anak disuarakannya dengan lantang. Saya benar-benar takjub dan terkesima dibuatnya. Saya merasa beruntung berkesempatan berada diantara para perempuan tangguh ini.

Mendengar langsung kisah pilu pengalaman hidup Mba Biru khususnya semakin membuat saya yakin bahwa sebenarnya diluar sana pasti masih banyak Mba Biru-Mba Biru lainnya dengan sekelumit kisah yang tak kalah mengharu birunya. Pasti juga banyak Mba Rami lainnya yang menjadi korban cemoohan secara verbal (kekerasan non fisik) karena memilih jalan hidupnya sendiri. Bahkan, perempuan yang bernasib sama dengan Mba Nihus yang belum juga mampu memberikan keturunan dalam sebuah hubungan menjadi peluang ancaman atas bentuk kekerasan. Saya yakin pasti banyak. Ya, hanya mungkin bedanya mereka belum berani menyuarakan jeritan hati dan memilih diam sebagai pilihan. Padahal sesungguhnya Diam bukan Pilihan! Diam adalah suatu bentuk kekeliruan, kelalaian dan pembenaran atas sebuah kesalahan. Hal ini tidak boleh dibiarkan!

Berdasarkan data tahun 2016, sebagaimana dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata diperoleh informasi bahwa perempuan di perkotaan lebih sering mengalami kekerasan dibanding perempuan di perdesaan. Data BPS tersebut mencatat bahwa prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan usia 15-64 tahun oleh pasangan dan selain pasangan di perkotaan dalam 12 terakhir mencapai 10,4 persen. Sementara di perdesaan hanya 8,1 persen. Demikian pula untuk selama hidup, prevalensi kekerasan terhadap perempuan di perkotaan juga lebih tinggi, yakni mencapai 36,3 persen, sementara di perdesaan hanya 29,8 persen. Prevalensi kekerasan fisik terhadap perempuan oleh pasangan dan selain pasangan mencapai 9,1 persen, kekerasan seksual sebesar 15,3 persen, dan kekerasan fisik dan seksual sebesar 9 persen. Kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan oleh pasangan dan selain pasangan dialami oleh 33,4 persen (1 dari 3) perempuan sepanjang hidupnya, dan sekitar 9,4 persen (1 dari 10) perempuan mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Miris, bukan? 

dok: databoks.katadata.co.id
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan masih kerap terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 2016, sebanyak 233 lembaga layanan mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi menangani 13.602 kasus. Provinsi di Pulau Jawa menempati urutan tiga besar dengan jumlah kasus terbanyak. DKI Jakarta berada di posisi teratas. Disusul Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dari 13.602 kasus kekerasan, 75 persen di antaranya terjadi di ranah personal, yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sisanya dilakukan di ranah komunitas dan ranah negara. Sebagai bagian dari perempuan perkotaan yang hidup dan mengadu nasib di DKI Jakarta, sudah selayaknya saya belajar untuk berempati atas kasus kekerasan yang marak terjadi terhadap kaum saya yaitu perempuan.

dok: databoks.katadata.co.id
Hal ini lantas semakin diperkuat oleh kajian LBH Apik Jakarta yang sepanjang tahun 2015 juga menangani 573 kasus kekerasan perempuan di DKI Jakarta. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih mendominasi. Jenis kasus lain yang juga ditangani oleh LBH Apik di antaranya kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan seksual di luar KDRT dan KDP, pidana umum, perdata keluarga, pelanggaran hak dasar, ketenagakerjaan serta kategori lain-lain. 

dok: databoks.katadata.co.id
Selain Komnas Perempuan dan LBH Apik Jakarta, Polda Metro Jaya juga melansir jumlah kejahatan kekerasan fisik yang terjadi pada tahun 2015 yang mencapai 3.000 kasus. Jumlah ini menurun dibanding angka kejahatan yang tercatat tahun sebelumnya sebesar 3.595 kasus. Kendati demikian, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk salah satu kejahatan yang jumlahnya termasuk mendominasi. Dalam tiga tahun berturut-turut, Polda Metro Jaya mencatat lebih dari 1.000 kasus per tahun. Kasus yang ditangani oleh Polda Metro Jaya ini mencakup wilayah seluruh Kota Jakarta, Kota Depok, Kota Bekasi dan Tangerang. 

dok: databoks.katadata.co.id
Selain persoalan kekerasan terhadap perempuan di perkotaan masih ada hal yang lebih mengejutkan, yaitu perempuan berpendidikan ternyata lebih rentan mengalami kekerasan! Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami oleh perempuan usia 15-64 tahun dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas dengan status tidak bekerja. Sebanyak 39,4 persen perempuan dalam kategori ini pernah mengalami kekerasan semasa hidupnya. Hasil pendataan SPHPN 2016 juga menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Selama 12 bulan terakhir sekitar 1 dari 10 perempuan tersebut mengalami kekerasan. Dalam penelitian ini BPS bekerja sama dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, BPS, United Nations Fund for Population Activities (UNPFA).

dok: databoks.katadata.co.id
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa kekerasan tidak hanya terjadi dalam suatu hubungan pernikahan. Komnas Perempuan mencatat sebanyak 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) atau dating violence terjadi selama tahun 2016. KDP merupakan tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan yang mencakup kekerasan fisik, psikologi, dan ekonomi. Kebanyakan yang menjadi korban dalam KDP adalah pihak perempuan disebabkan beberapa faktor mulai dari rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan merasa tidak memiliki dukungan secara sosial maupun individual. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi pada perempuan adalah di ranah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tahun 2016 terjadi sebanyak 11.207 kasus atau 60 persen dari keseluruhan kasus. KDRT merupakan tindakan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk pada keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan. Bentuk kekerasan ini juga paling sering terjadi pada perempuan. Come on, girl!

dok: databoks.katadata.co.id
Pada akhirnya, perempuan dengan segala bentuk penghidupannya merupakan kisah menarik yang layak dan pantas memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan. Kini bukan saatnya perempuan memilih untuk diam, melainkan menyuarakan kebenaran. Tidak perlu takut karena ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertugas menjamin dan memberikan perlindungan serta advokasi terhadap masalah kekerasan yang dialami oleh para perempuan yang berani melapor dan bersaksi atas apa yang menimpanya selama ini. 


Kini saatnya para perempuan bersatu padu guna menghentikan segala bentuk kekerasan. Tidak ada pembenaran atas sikap kekerasan dikarenakan kita menyuarakan perlawanan terhadap suatu kesalahan. Sebagaimana Mba Biru, seorang aktivis perempuan, pegiat sosial dan terpelajar yang berhak memperjuangkan rumah tangga yang telah dibina susah payah. Beliau memperjuangkan harga diri dan anak-anaknya. Saya teringat bagaimana beliau menceritakan upaya perjuangannya menyelamatkan rumah tangganya yang pada akhirnya kandas, tentang bagaimana dia menjadi saksi sekaligus korban kekerasan yang dilakukan mantan suaminya bahkan perjuangan panjangnya memperoleh hak asuh anak. Bermodalkan keberanian yang merupakan kekuatan terbesarnya ketika itu. Syukurlah saat ini Mba Biru dan anak-anaknya memulai semua kembali secara perlahan namun pasti. Mba Biru merasa beruntung karena saat itu memilih untuk tidak diam melainkan menyuarakan semuanya.

Mba Rami pun mengajarkan tentang makna penting pencegahan terhadap kekerasan verbal yang kerap mengintai para perempuan single perkotaan nan berpendidikan. Dari Mba Nihus pun saya belajar bahwa perempuan wajib memiliki talenta dan dengan kemampuan yang dimiliki tersebut kita berhak menentang segala macam bentuk kekerasan. Jadilah perempuan yang berani! Ayo berani bersuara! Karena Diam bukan Pilihan! Dan kekerasan bukanlah jawaban! Alih-alih menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan, mending sayangi kami tanpa alasan. Setuju?

Referensi: 

2 komentar:

  1. Artikel yang bagus. Kalau berkenan dapat mengunjungi blog saya di libertysites.wordpress.com. Terima kasih

    BalasHapus