Senin, 13 November 2017

Digitalisasi dan Integrasi: Kata Kunci Smart City

Cities are where the future happens first. They're open, creative, dynamic, democratic, cosmopolitan, sexy. They're the perfect antidote to reactionary nationalism – RM , 2017
Singapore Tourist Pass (dok: pribadi)

Permasalahan umum pembangunan perkotaan di Indonesia adalah timpangnya perkembangan kawasan perkotaan serta kota otonom di kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. Struktur Perkotaan Nasional (SPN) yang efisien belum terbentuk sehingga pergerakan barang dan mobilitas penduduk masih cenderung berada di bagian barat Indonesia. 

Hal ini pun semakin dipertegas oleh data yang menampilkan bahwa ketimpangan masyarakat perkotaan di Indonesia lebih tinggi dibanding perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa angka ketimpangan (Gini Ratio) pada September 2016 mengalami penurunan tipis untuk kategori perkotaan maupun pedesaan, demikian pula secara nasional. Rasio gini perkotaan tercatat sebesar 0,409 dan perdesaan sebesar 0,316. Sedangkan secara nasional, rasio Gini tercatat sebesar 0.397.

dok: databoks.katadata.co.id
Fokus perhatian terhadap perkotaan lantas menjadi penting dikarenakan penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan lebih besar dibanding beberapa Negara ASEAN lainnya. Kajian The Economist Intelligence Unit (EIU) yang berjudul "ASEAN Cities, Stirring The Melting Pot" menempatkan Indonesia di urutan ke empat Negara ASEAN dengan penduduk perkotaan terbanyak. EIU mencatat, 54 persen orang Indonesia tinggal di perkotaan. Kajian ini menyinggung tren dunia yang menunjukkan lebih dari 50 persen warga dunia tinggal di kawasan perkotaan. EIU memprediksi seiring dengan derasnya urbanisasi, warga kota akan terus meningkat hingga 60 persen pada tahun 2030 mendatang dan mencapai 66 persen pada tahun 2050. Meski ASEAN hanya memiliki 4 dari 30 kota megapolitan dunia, namun di Asia Tenggara memiliki 20 kota ukuran sedang dan 21 kota kecil yang perkembangannya menggambarkan tren urbanisasi global.

dok: databoks.katadata.co.id
Di satu sisi, konsep pengembangan perkotaan nasional di Indonesia belum dijabarkan dan pelaku utamanya belum seluruhnya diidentifikasi. Oleh karenanya, arah kebijakan bidang perkotaan yang perlu diwujudkan diantaranya ialah mengembangkan kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Sesuai dengan kerangka umum pembangunan infrastruktur RJMN 2015 – 2019, pembangunan sarana dan prasarana di Indonesia dititikberatkan diantaranya ialah pada infrastruktur perkotaan termasuk pengembangan angkutan umum masal dan pengembangan TIK untuk mendukung pengembangan smart city. 

dok: lampiran pidato kenegaraan Presiden RI, 2017
Sektor infrastruktur transportasi terus dikembangkan untuk meningkatkan mobilitas antarkawasan dan infrastruktur TIK semakin dikembangkan untuk menjangkau daerah yang selama ini belum terhubung. Dalam mewujudkan Nawacita menuju Indonesia yang berdaulat secara politik serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, pembangunan sarana dan prasarana menjadi hal penting untuk mencapai tujuan tersebut. 

Pembenahan infrastruktur khususnya transportasi menjadi hal yang perlu disegerakan mengingat kondisi Jakarta sebagai ibukota Negara yang telah didaulat sebagai salah satu kota termacet di dunia. Berdasarkan Tomton Traffic Index 2017, DKI Jakarta berada di urutan ketiga. Dengan kepadatan lalu lintas di DKI Jakarta, pengemudi membutuhkan waktu perjalanan ekstra hingga 58 persen. 

dok: databoks.katadata.co.id
Berdasarkan laporan perusahaan analis transportasi, Inrix tentang kondisi lalu lintas di seluruh dunia pada 2016, kemacetan menyebabkan orang-orang di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu sia-sia di jalan selama 47 jam dalam satu tahun akibat terjebak macet. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, DKI Jakarta menjadi kota tersibuk dan menyumbang kemacetan terparah di Tanah Air. Warga DKI Jakarta menghabiskan 55 jam per tahun di jalan. Angka tersebut lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, yakni 47 jam. 

dok: databoks.katadata.co.id
Rasio kepadatan kendaraan menjadi salah satu pemicu kemacetan. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan rasio jumlah kendaraan terhadap panjang jalan tertinggi di Indonesia. Jumlah kendaraan tercatat paling padat ada di DKI Jakarta sehingga menempati urutan pertama dengan 2.077 unit kendaraan per satu kilometer. Rasio perbandingan jumlah kendaraan terhadap panjang jalan menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan ekonomi masih terpusat di Pulau Jawa. 

Berdasarkan data, Pulau Jawa mencatatkan jumlah kendaraan yang relatif padat di Indonesia. Menurut statistik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, setiap 1 kilometer jalan di Pulau Jawa dipergunakan untuk melayani perjalanan 510 kendaraan. Angka ini menjadi yang terpadat dibandingkan wilayah lain.

dok: databoks.katadata.co.id
Berkenaan dengan hal tersebut, permasalahan kemacetan di DKI Jakarta sejatinya dapat diatasi diantaranya melalui pengaplikasian TIK. Berdasarkan data, Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) DKI Jakarta pada 2015 mencapai 9,25 dari skala 0-10. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya dan berada di atas rata-rata nasional, yaitu 4,83. IP-TIK Jakarta juga meningkat dibandingkan dengan posisi 2014, yakni 9,23. Tingginya IP-TIK DKI Jakarta ditopang oleh indeks indikator akses dan infrastruktur sebesar 9,96, indeks penggunaan 9,61, serta indeks keahlian keahlian 7,13. Sejak 2012, indeks pembangunan TIK DKI Jakarta selalu di atas rata-rata IP-TIK nasional. Dari 34 provinsi, hanya 1 provinsi yang IP-TIK nya masuk kategori tinggi pada 2015, yaitu DKI Jakarta. Hal ini menjadi peluang yang baik untuk dimanfaatkan guna pengentasan permasalahan di DKI Jakarta.

dok: databoks.katadata.co.id
Apalagi mengingat dengan jumlah populasi yang sangat besar, Indonesia menyimpan potensi ekonomi digital di masa yang akan datang seiring berkembangnya teknologi dan media sosial. Berdasarkan data Kepios (September 2017), jumlah populasi di Indonesia mencapai 264 juta dimana merupakan jumlah populasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dari jumlah tersebut, 55 persen merupakan kaum urban yang tinggal di daerah perkotaan. Adapun penetrasi pengguna internet Indonesia mencapai 133 jiwa atau sekitar 50 persen dari total populasi. Sementara pengguna aktif media sosial mencapai 115 juta atau sekitar 44 persen dari total populasi. Sementara pengguna telepon seluler (ponsel) mencapai 371 juta atau 141 persen dari total populasi. Artinya bahwa setiap orang menggunakan 1,4 (lebih dari satu) ponsel. Sedangkan pengguna media sosial aktif dengan menggunakan ponsel mencapai 106 juta atau 40 persen dari ponsel terdaftar.

dok: databoks.katadata.co.id
Dalam laporan IMD World Digital Competitiveness 2017, Negara dengan daya saing digital tertinggi di dunia dipegang oleh Singapura. Dalam laporan tersebut Singapura memperoleh skor 100 dan berada di peringkat pertama. Teknologi berubah dengan cepat dan tidak hanya mempengaruhi bagaimana fungsi bisnis, tapi juga bagaimana negara tampil hari ini, serta berkembang pada masa yang akan datang. Singapura memiliki daya saing digital tertinggi karena Negara tersebut telah mengembangkan peraturan mengenai pemanfaatan talenta yang dimilikinya dengan mengadopsi peraturan yang memfasilitasi talenta dari luar negeri untuk melengkapi talenta lokal. 

dok: databoks.katadata.co.id
Laporan tentang daya saing digital ini menunjukkan pemeringkat yang menjadi indikator untuk mengukur kemampuan suatu negara dalam mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital yang mengarah pada transformasi dalam praktik pemerintah, model bisnis, dan masyarakat pada umumnya. Saya merasa beruntung karena baru saja berkesempatan melakukan perjalanan ke Singapura pada tanggal 9 – 10 November 2017 kemarin. Sungguh perjalanan singkat yang penuh makna.

MRT di Singapura (dok: pribadi)
Jujur saja, di Negara ini (re: Singapura) saya merasa dihargai khususnya sebagai pejalan kaki dan penumpang kereta Mass Rapid Transit (MRT). Negara ini benar-benar memiliki budaya berjalan kaki bahkan saking membudayanya, para warganya pun tetap berjalan meski sedang berada di tangga berjalan (eskalator). Mereka seakan berpacu dengan waktu. Menariknya, ketika naik MRT saya sengaja menghitung waktu yang dibutuhkan untuk tiap pemberhentian stasiun dan waktunya selalu tepat yaitu: 1 menit 20 detik! Berbeda hal nya ketika naik monorail di Kuala Lumpur, Malaysia dengan waktu tempuh sekitar 2 menitan lebih antar stasiun.

Monorail di Kuala Lumpur, Malaysia (dok: pribadi)
Singapura memang memiliki penetrasi digital terbaik di dunia. Para masyarakatnya tertib berlalu lintas. Tidak hanya di jalan raya dalam berkendara melainkan juga ketika sedang berjalan kaki. Satu kata kunci untuk layanan transportasi yang dimiliki Negeri Singa ini: INTEGRASI. Singapura seakan menjadi representasi smart city yang sesungguhnya. Berkat bantuan penerapan layanan digital, sistem terintegrasi dengan baik guna meningkatkan performa infrastruktur transportasi. Selain MRT, bus dan taksi juga menjadi alat transportasi di dalam Negeri.


Sebagaimana diungkapkan baru-baru ini oleh Robert Muggah, seorang Megacities Expert pada forum TEDGlobal di New York City pada September 2017 silam melalui penuturannya yang berjudul “The biggest risks facing cities — and some solutions” bahwasanya “…cities shouldn't just be the center of economics -- they should also be the foundation of our political lives”. Mewujudkan kota yang resilien dan berkelanjutan di masa depan menjadi suatu keharusan mengingat perkembangan era digital saat ini. “Work in global coalitions” menjadi salah satu kata kunci. Perkembangan teknologi pun menjadi harga mati. 



Penerapan carpooling dan ride sharing kedepannya dapat menjadi alternatif solusi pengurai kemacetan khususnya di ibukota. Perpaduan integrasi dan layanan digital serta mempertimbangkan peluang masyarakat urban perkotaan pengguna ponsel dan layanan internet akan dapat menjadi pendorong mewujudkan smart city di ibukota khususnya dalam penggunaan layanan transportasi publik. Be a smart people. Be a smart city! 

Referensi: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar