Kamis, 02 November 2017

Keberagaman: Sebuah Keniscayaan dan Nilai Kemanusiaan Universal

Bapak Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin menyebut kata “Keberagaman” sebanyak 18 kali dalam Orasi Kebudayaan dengan tema “Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia” di depan forum dalam rangka memperingati Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) yang ke – 22 pada 2016 silam (baca: disini). Ada satu hal yang menarik kaitannya tentang peranan sebuah lembaga/komunitas sebagai laboratorium keberagaman. Lebih lanjut Pak Menteri mengungkapkan tentang pentingnya fungsi kontrol dan tindakan represif guna meredam konflik yang kemungkinan muncul dari isu atau masalah keberagaman. 


Pada dasarnya, keberagaman adalah nilai kemanusiaan yang universal. Keberagaman, tidak hanya membahas kaitannya tentang persoalan beragama melainkan juga kerap menjadi permasalahan (atau yang dipermasalahkan?) dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan kebudayaan. Khususnya terkait dengan masih kurangnya kesadaran akan keberagaman budaya, nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal. Pun, menjadi permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan lintas bidang revolusi mental diantaranya terkait dengan sikap toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman yang masih kurang optimal dalam mengatasi suatu masalah atau melaksanakan suatu hajat dalam kehidupan bermasyarakat.

Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya pembangunan kebudayaan bertujuan untuk mewujudkan insan Indonesia yang bermartabat, berkarakter dan berjati diri yang mampu menjunjung tinggi nilai budaya bangsa dan peradaban luhur di tengah pergaulan global. Guna mencapai tujuan utama pembangunan tersebut maka arah kebijakan dan strategi pembangunan kebudayaan diantaranya ialah: Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sejarah dan nilai luhur budaya bangsa serta kesadaran dan pemahaman terhadap pentingnya kearifan lokal sebagai perekat persatuan bangsa.

Begitupun dengan revolusi mental yang merupakan gerakan kolektif yang melibatkan seluruh komponen bangsa, ditempuh melalui peningkatan peran dan efektifitas lembaga Negara dan pemerintahan serta pranata sosial – budaya di masyarakat untuk mendorong Indonesia tumbuh menjadi bangsa unggul, berprestasi tinggi, produktif dan berdaya saing. Pembangunan revolusi mental dimaksudkan untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap dan perilaku yang mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja dan gotong royong untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, mandiri dan sejahtera.

Arah kebijakan dan strategi dalam pembangunan lintas bidang revolusi mental diantaranya yaitu penguatan daya rekat sosial dalam kemajemukan melalui: Pengembangan ruang publik yang ramah dan bebas dari penyebaran kebencian; Peningkatan kerja sama dan kesetiakawanan sosial; Peningkatan peran lembaga agama, keluarga dan media publik yang mengajarkan perdamaian dan toleransi; serta Peningkatan kemandirian ekonomi dan daya saing bangsa. 

Pada Sabtu, 14 Oktober 2017 silam, saya berkesempatan diundang menjadi salah satu Narasumber dalam Diskusi Buku berjudul “Cerita untuk Sahabat” yang merupakan kumpulan esai terpilih karya orang muda tentang multikultural. Kebetulan saya merupakan salah satu penulis yang karya esainya terpilih. Jujur, ini menjadi kesempatan berharga dan kehormatan tersendiri bagi saya pribadi. Dalam diskusi tersebut saya diminta menceritakan kembali terkait isi tulisan dan berbagi sedikit gambaran tentang pengalaman saya menghadapi keberagaman.

Secara apa adanya saya ceritakan bahwa saya terlahir dan dibesarkan di Kota Manado, Sulawesi Utara. Kota yang terkenal dengan mayoritas masyarakatnya beragama non muslim, sedangkan di satu sisi keluarga saya merupakan keturunan Jawa yang notabene beragama Islam. Tapi, penting untuk diketahui bahwa berdasarkan laporan kajian riset oleh Setara Institute diperoleh hasil bahwa Kota Manado merupakan salah satu kota dengan tingkat toleransi terbaik/tertinggi di Indonesia. Riset ini bertujuan mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil mengembangkan toleransi di Indonesia. Kedepan diharapkan laporan riset ini dapat menjadi pemicu bagi kota lainnya untuk mengembangkan sikap toleransi. Hal ini seakan menunjukkan bahwa keberagaman menjadi aset berharga suatu daerah.

dok: databoks.katadata.co.id
Berdasarkan data, umat muslim merupakan kelompok agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia, sebuah riset dari Pew Research Center menyebutkan bahwa hingga tahun 2050 mendatang diproyeksikan pertumbuhan umat beragama khususnya populasi umat muslim di dunia diperkirakan akan tumbuh hingga 75 persen! Angka ini merupakan dua kali lipat pertumbuhan penduduk di dunia yang diperkirakan hanya sekitar 35 persen. Angka yang sangat fantastis ini semestinya lantas membuat kita (re: umat muslim) lebih menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin yaitu agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh umat di dunia tanpa terkecuali.

dok: databoks.katadata.co.id
Disinilah letak krusialnya, intoleransi agama menjadi yang paling sensitif sebagaimana diungkapkan oleh Karlina Supelli (baca: disini) dalam penuturannya pada ulang tahun ke – 23 Aliansi Jurnalis Independen Indonesia. Kekuatan intoleransi agama yang membedakannya dari intoleransi jenis lain ialah kemampuannya mengemukakan perbedaan identitas menurut skema pertarungan abadi antara kebaikan dan kebathilan. Sehingga upaya menolak intoleransi dan merawat Indonesia merupakan suatu keharusan.

Sebagaimana hasil survey toleransi masyarakat muslim terhadap non muslim yang dilakukan oleh Wahid Foundation, diperoleh hasil bahwa Indonesia memang masih rentan intoleransi dan rawan perilaku intoleran. Hasil survey menunjukkan bahwa sekitar 40,4 persen masyarakat muslim telah bersikap toleran dan 38,4 persennya bersikap intoleran terhadap non muslim. Perbedaan persentase yang sangat sedikit tersebut patut menjadi perhatian multipihak.

dok: databoks.katadata.co.id
Berkenaan dengan hal tersebut, penghormatan sebesar-besarnya terhadap Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Komunitas Orang Muda Katolik (OMK) karena telah memfasilitasi dan memungkinkan terselenggaranya penerbitan buku berisi kumpulan esai terpilih karya orang muda tentang multikultural dan Diskusi Buku bersama para narasumber dengan kepakarannya masing-masing. Terimakasih atas apresiasinya!

dok: pribadi
Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia menjadi komunitas yang gencar menebar pesan perdamaian dan menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Ragam kegiatan positif dilakukan kaitannya untuk menebar kebaikan dalam keberagaman diantaranya melalui kompetisi penulisan, penerbitan buku, diskusi buku serta kegiatan dalam rangka menyambut Asian Youth Day pada Juli 2017 silam di Yogyakarta. 

dok: pribadi
Saya lantas teringat postingan berita tanggal 29 Maret 2017 di laman independen.id yang berjudul “Umat Islam dan Katolik di Dusun Kalibago Ikut Merayakan Nyepi”. Betapa beragam dan berwarna-warninya fenomena kehidupan yang ada ketika pemeluk agama Islam, Katolik dan Hindu saling bersatu padu dan bersuka cita bersama tanpa mempermasalahkan perbedaan keyakinan yang ada. Sungguh nuansa toleransi beragama yang syahdu. Pada dasarnya, perbedaan merupakan hak warga Negara (baca: disini). Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) juga turut menyatakan bahwa perlunya membangun kembali pemahaman publik akan makna toleransi dan kebhinekaan Indonesia. 

Sebagaimana diungkapkan oleh Romo Antonius Haryanto Pr selaku Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia bahwasanya “…Kita diciptakan dan hadir di dunia dalam perbedaan. Keragaman ini justru memampukan kita untuk melihat betapa hidup manusia justru kaya oleh perbedaan. Betapa tidak sempurnanya kita sehingga kebutuhan saling melengkapi adalah niscaya”.

Tak ketinggalan pesan perdamaian oleh Alamsyah M Dja’far selaku Senior Officer Riset, Kebijakan dan Advokasi Wahid Foundation yang juga sekaligus sebagai anggota dewan juri pada kompetisi penulisan Multikultural Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia. Beliau menyatakan bahwa persoalan yang timbul dari konflik yang ada menjadi tugas terberat kita semua – komunitas beragama berkeyakinan – sekarang dan di masa mendatang.

Pada akhirnya, memahami makna toleransi tentunya memerlukan lingkungan yang beragam dan bukannya seragam. Oleh karena itu perbedaan sangat diperlukan. Kita tidak bisa terus menerus berharap berada di lingkungan yang homogen. Kehidupan yang heterogen alias beragam akan mengajarkan kita banyak hal bahwasanya berbeda itu hal biasa dan berbeda itu tidak apa-apa. Sejenak beranjak dari zona nyaman akan mengajarkan kita esensi keikhlasan untuk saling menerima satu sama lain. Kita memang tidak sama tapi kita bisa bekerja secara bersama-sama. Salam damai!

Referensi: 
Cat: Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor. Karya esainya yang berjudul “Harmonisasi Toleransi: Memaknai Keindahan Hakiki” terpilih menjadi esai terbaik dan telah dibukukan dalam buku berjudul “Cerita untuk Sahabat” yang bertema multikultural oleh Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia.

Ket: tulisan diikutsertakan dalam Blog Competition Festival Media 2017 & IndependenId serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar